SELAMAT DATANG

WELCOME TO MY BLOG! berbagi ilmu & pengetahuan lewat blog ini

Saturday, 12 April 2014

Ekspedisi 5 Provinsi, 4 Daratan & 3 Lautan (Bagian II)

Kalau mau tahu ceritanya dari awal, baca dulu Bagian I..
  

Terdapat perbedaan antara Jawa Barat dan Jawa tengah. Kalau di Jawa Barat orang-orang berbahasa sunda, sedangkan di Jawa Tengah orang-orang berbahasa Jawa. Sukulah yang membedakan bahasa mereka. Aku teringat teman-temanku di kampus, ketika aku memperhatikan mereka berbicara dengan bahasa daerah, bahasa yang dipakai oleh mereka yang dari Jawa Tengah berbeda dengan mereka yang dari Jawa Barat. Dari cara berbicaranya, orang Jawa Barat lebih kalem dan lembut dibanding orang Jawa Tengah. Tapi yang lebih menarik itu cara bicaranya orang Jawa tengah, apalagi mereka yang sangat kental dengan budaya Jawanya, biasanya ada penekanan-penekanan yang halus dalam kata-katanya, kata orang itu namanya medho’.
Bicara tentang bahasa, daerahku juga ada bahasanya sendiri yang sangat jauh berbeda dari bahasa Indonesia. Namanya “bahasa Mbojo”, kalau mau belajar bahasa ini saya sarankan anda langsung ke tempat saya saja, karena belajar bahasa ini tidak semudah seperti mencari arti kata dalam kamus. Semua kata-kata dalam bahasa ini masing-masing memiliki cara dalam penyebutannya, kalau penyebutannya tidak sesuai dengan yang biasanya, maka akan terdengar aneh. Orang-orang di daerah memang setiap harinya selalu menggunakan bahasa daerah, tak heran kalau dalam data statistik BPS menunjukkan bahwa angka melek huruf di NTB masih rendah dibanding provinsi lain. Karena itu tadi, banyak masyarakatnya yang terbiasa menggunakan bahasa daerah karena tidak bisa bahasa Indonesia, terutama penduduk usia lanjut. Ya, itulah warna-warni Indonesia, membuat Indonesia menjadi bangsa yang unik dimata dunia.
Oke, sekarang bus tengah melaju di kabupaten Brebes, kabupaten paling barat di jalur pantura di provinsi Jateng. Di Jawa tengah, bus akan berlari semalaman. Mulai dari Brebes, kemudian Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, ibukota Semarang, Demak, Kudus, Pati, dan paling timur Rembang. Sayangnya aku melewatkan suasana daerah-daerah itu, karena saatnya mataku untuk terpejam dan tidur.
...
            Shubuhpun menjelang, ruhku kembali kedalam ragaku. Mataku langsung melotot kearah luar jendela, dengan penasaran melihat keadaan di sekitar. Tuban, adalah salah satu kabupaten yang berada diperbatasan. Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ya, sekarang sudah berganti provinsi lagi. Provinsi yang ketiga, provinsi Jawa Timur. Saat aku melewati daerah Tuban, di sepanjang jalan banyak warung-warung kecil yang berjualan. Para pemilik warung-warung itu rata-rata menawarkan dagangan yang sama.
            Jawa timur sering dijuluki sebagai tempatnya para santri. Terlihat pada slogan-slogan yang banyak tertera dipinggir-pinggir jalan yang bermakna islami, baik dari pemerintah maupun masyarakat. Di Jawa Timur terdapat kota terbesar kedua di Indonesia, namanya Surabaya. Surabaya berasal dari kata “ ikan sura dan buaya” yang menjadi ikon atau simbol dari kota Surabaya sendiri. Surabaya kini seperti kota metropolitan. Banyak gedung-gedung tinggi yang sudah dan sedang dibangun. Tak kalah dengan kota Jakarta yang kini sudah sumpek dipenuhi dengan gedung-gedung pencakar langit, perkantoran, apartemen, mal, yang bersanding dengan perumahan-perumahan padat nan kumuh serta elit.
            Bus memasuki kota Surabaya sekitar pukul 10 pagi melewati jalan tol. Jalan tol di Surabaya ini agak unik. Jalanannya ada yang melengkung membentuk bundaran. Pemandangan kota Surabaya yang dipenuhi dengan deretan perumahan dan gedung-gedung terlihat samar-samar dari atas tol yang letaknya lebih tinggi dari jalan biasa. Bus tidak berjalan ditengah-tengah kota Surabaya, padahal aku ingin sekali melihat patung ikan sura dan buaya yang menjadi ikon kota itu. Tak apa lah, semoga lain waktu bisa kesini.
...
            Bus kini berjalan di sore hari, menelusuri jalan-jalan pantura yang ada di jawa timur. Hingga sampailah disebuah daerah yang dipenuhi suara deru angin dan deburan ombak yang kencang, itulah Banyuwangi. Banyuwangi merupakan kabupaten yang letaknya paling ujung timur di pulau Jawa. Disini terdapat sebuah dermaga, yang dipenuhi lampu-lampu temaram dari kapal-kapal maupun fery yang singgah disana, namanya pelabuhan ketapang. “Ah, sebentar lagi aku akan sampai dirumah” gumamku. Tiba di dermaga, bus yang kutumpangi mengantri untuk memasuki fery. Beberapa menit kemudian, aku bersama penumpang lain segera turun dari bus dan menuju ruangan kapal.
...
            Proooooommmpp... prooooommmpp... tandanya fery mulai berangkat meniggalkan pulau Jawa, ya daratan pertama sudah ditinggali. Kini aku sedang mengarungi lautan pertama, selat Bali. Perjalanan ditempuh lebih kurang 30-45 menit. Saat itu, jam handphone sudah berubah menunjukan waktu Indonesia tengah (WITA). Bali, adalah pulau utama tujuan wisata turis mancanegara. Di Bali katanya seperti surga dunia, semua keindahan bisa kau lihat disana, memang benar Indonesia memiliki warna-warni keindahan alam yang jarang ditemukan ditempat lain di dunia ini. Bali juga kental dengan budayanya, menjadikan salah satu daya tarik bagi siapapun untuk jadi penghibur diri, pemuas kebutuhan diri manusia yang hakikatnya haus akan seni.
Bicara tentang budaya, untungnya sekarang kebudayaan bergabung dalam kementrian pendidikan. Pada zaman kekusaan gus dur adalah suatu kesalahan fatal karena memasukan kebudayaan dalam lingkup kementrian pariwisata. Alhasil, budaya seolah-olah hanya menjadi tontonan dan daya tarik pariwisata disisi lain, mengingat sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang memberi pemasukan yang banyak terhadap penghasilan negara.
Sekarang bergabungnya budaya dalam kementrian pendidikan, diharapkan agar budaya itu selain dijadikan tontonan juga dapat dilestarikan oleh generasi-generasi muda, dengan memasukannya kedalam kurikulum pendidikan. Budaya yang dilestarikan akan tetap hidup, mengingat zaman sekarang yang sudah banyak berubah serta mempengaruhi pola pikir masyarakat terutama generasi kini.
Indonesia seharusnya bangga karena memiliki warna-warni kehidupan yang unik. Tapi jangan sampai keunikan itu sendiri malah direbut oleh orang lain atau bangsa lain, kan kasihan nenek moyang yang sudah susah payah membuat tradisi-tradisi serta keunikan-keunikan tersebut.
Lanjut lagi ke perjalanan, setelah mengarungi lautan selama 40 menitan, fery pun bersandar pada sebuah pelabuhan di pulau Bali, namanya pelabuhan Gilimanuk. Daaan sampailah aku pada daratan yang kedua, jeng jeng jeng... Pulau Bali. Ya, pulau Bali adalah pulau yang luasnya tak lebih dari 5.561 km2 dengan beberapa pulau-pulau kecil disekelilingnya seperti nusa penida, nusa lembongan, dan nusa ceningan. Aku bersyukur tinggal di NTB, kalau mudik seperti ini bisa lewat Bali. Dan menurutku Kepulauan Nusa Tenggara memang indah, warna-warni keindahan alamnya begitu beragam, dari pantai-pantai di Bali dan Lombok, sabana di sumbawa, serta keindahan pulau komodo dan gunung kelimutu di NTT.
Ada sebuah cerita yang miris menurutku ketika bus pertama kali menginjak pulau Bali. Saat keluar dari wilayah pelabuhan, supir dan kernet bus menyuruh semua penumpang untuk turun dan menyiapkan sesuatu. Kamipun disuruh berjalan menuju sebuah pos yang ada segelintir oknum disana. Rupanya kami dibawa ke pos pengecekan KTP. Jadi, peraturan di Bali ini sangat ketat, setiap bus/mobil yang baru sampai dipulau Bali penumpangnya harus di cek apakah memiliki KTP atau tidak. Tentunya warga yang di cek adalah warga yang berusia 17 tahun keatas. Ketika itu umur saya sudah mencapai 17 tahun, tetapi aku juga diikutkan turun. Masalahnya, ketika aku berangkat kuliah di Jakarta setahun yang lalu, aku belum membuat KTP karena umur yang masih dibawah 17 tahun dan baru bisa pulang kampung tahun ini.
Kemudian, ketika tiba giliranku di tanya oleh petugas tersebut, aku hanya menunjukan sebuah kartu identitas lain yaitu kartu mahasiswa. Tanpa pikir panjang, petugas itu langsung menyuruhku masuk kedalam ruangan. Perasaanku deg degan, mau diapakan aku ini. Kemudian diruangan tersebut aku ditanya, “mana KTPnya?”, “belum ada pak soalnya saya kemarin pergi kuliah belum sempat buat KTP karena belum cukup umur”. “kalau gitu, supaya gak berurusan dengan saya besok, lebih baik kamu bayar biaya administrasi 20ribu”. Seketika aku tercengang mendengar bahwa aku harus membayar 20ribu. Meskipun sudah bertanya-tanya mengapa harus bayar 20ribu, tetap saja petugas-petugas itu ngotot dan akupun terpaksa membayarnya. Apa ini? Aku sudah menjelaskan alasan dengan sejujur-jujurnya, tapi malah disuruh bayar. Lantas, apakah gunanya memeriksa KTP ini?, apakah hanya modus?, apakah pihak-pihak ini sudah punya izin dari pemerintah?, buat apa administrasi? Padahal cuma gak punya KTP. Ini menjadi sebuah pertanyaan bagiku, kenapa di Indonesia harus bayar, bayar, dan bayar. Sedikit, sedikit bayar. Toilet umum bayar. Zaman sekarang banyak sekali modus pencarian uang.
Tidak hanya aku, beberapa penumpang lain juga harus membayar karena alasan yang beragam, seperti masa berlaku KTPnya sudah habis, tidak membawa KTP dan sebagainya. Tapi sudahlah, aku mestinya bersikap husnudzon. Siapa tahu uang itu memang dipakai untuk kebutuhan administrasi, tidak disalah gunakan apalagi dipakai untuk kepentingan pribadi.
           Bus kini berjalanan meninggalkan pelabuhan. Matahari kini berada di ufuk barat. Saat itu sudah malam hari, tetapi aku masih bisa melihat indahnya pulau Bali. Latar pura sering terlihat dipinggir jalan dan desain arsitektur bangunannya banyak yang mengikuti ciri khas Bali. Jalan-jalan diaspal rata dan tertata rapi, benar-benar rapi. Sepanjang jalan setelah melewati kota Denpasar, kita akan disuguhi pemandangan laut. Terkadang aku melihat sekumpulan orang-orang Bali dengan pakaian adat mereka, sepertinya sedang melaksanakan sebuah upacara adat. Oh iya, pulau Bali adalah provinsi keempat dalam ekspedisi kali ini, masih ada satu provinsi lagi yang harus ditempuh. Artinya, kampung halaman semakin dekat. 
Semakin dekat untuk bertemu ayah dan ibu.

Bersambung ke Bagian III...

0 comments:

Post a Comment