Terdapat perbedaan antara Jawa Barat dan Jawa tengah.
Kalau di Jawa Barat orang-orang berbahasa sunda, sedangkan di Jawa Tengah
orang-orang berbahasa Jawa. Sukulah yang membedakan bahasa mereka. Aku teringat
teman-temanku di kampus, ketika aku memperhatikan mereka berbicara dengan
bahasa daerah, bahasa yang dipakai oleh mereka yang dari Jawa Tengah berbeda
dengan mereka yang dari Jawa Barat. Dari cara berbicaranya, orang Jawa Barat
lebih kalem dan lembut dibanding orang Jawa Tengah. Tapi yang lebih menarik itu
cara bicaranya orang Jawa tengah, apalagi mereka yang sangat kental dengan
budaya Jawanya, biasanya ada penekanan-penekanan yang halus dalam kata-katanya,
kata orang itu namanya medho’.
Bicara tentang bahasa, daerahku juga ada bahasanya
sendiri yang sangat jauh berbeda dari bahasa Indonesia. Namanya “bahasa Mbojo”,
kalau mau belajar bahasa ini saya sarankan anda langsung ke tempat saya saja,
karena belajar bahasa ini tidak semudah seperti mencari arti kata dalam kamus.
Semua kata-kata dalam bahasa ini masing-masing memiliki cara dalam
penyebutannya, kalau penyebutannya tidak sesuai dengan yang biasanya, maka akan
terdengar aneh. Orang-orang di daerah memang setiap harinya selalu menggunakan
bahasa daerah, tak heran kalau dalam data statistik BPS menunjukkan bahwa
angka melek huruf di NTB masih rendah dibanding
provinsi lain. Karena itu tadi, banyak masyarakatnya yang terbiasa menggunakan
bahasa daerah karena tidak bisa bahasa Indonesia, terutama penduduk usia
lanjut.
Ya,
itulah warna-warni Indonesia, membuat Indonesia menjadi bangsa yang unik dimata
dunia.
Oke, sekarang bus tengah melaju di kabupaten Brebes,
kabupaten paling barat di jalur pantura di provinsi Jateng. Di Jawa tengah, bus
akan berlari semalaman. Mulai dari Brebes, kemudian Tegal, Pemalang, Pekalongan,
Batang, Kendal, ibukota Semarang, Demak, Kudus, Pati, dan paling timur Rembang.
Sayangnya aku melewatkan suasana daerah-daerah itu, karena saatnya mataku untuk
terpejam dan tidur.
...
Shubuhpun menjelang, ruhku kembali
kedalam ragaku. Mataku langsung melotot kearah luar jendela, dengan penasaran
melihat keadaan di sekitar. Tuban, adalah salah satu kabupaten yang berada
diperbatasan. Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ya, sekarang sudah berganti provinsi
lagi. Provinsi yang ketiga, provinsi Jawa Timur. Saat aku melewati daerah
Tuban, di sepanjang jalan banyak warung-warung kecil yang berjualan. Para
pemilik warung-warung itu rata-rata menawarkan dagangan yang sama.
Jawa timur sering dijuluki sebagai
tempatnya para santri. Terlihat pada slogan-slogan yang banyak tertera
dipinggir-pinggir jalan yang bermakna islami, baik dari pemerintah maupun
masyarakat. Di Jawa Timur terdapat kota terbesar kedua di Indonesia, namanya
Surabaya. Surabaya berasal dari kata “ ikan sura dan buaya” yang menjadi ikon
atau simbol dari kota Surabaya sendiri. Surabaya kini seperti kota
metropolitan. Banyak gedung-gedung tinggi yang sudah dan sedang dibangun. Tak
kalah dengan kota Jakarta yang kini sudah sumpek dipenuhi dengan gedung-gedung
pencakar langit, perkantoran, apartemen, mal, yang bersanding dengan
perumahan-perumahan padat nan kumuh serta elit.
Bus memasuki kota Surabaya sekitar
pukul 10 pagi melewati jalan tol. Jalan tol di Surabaya ini agak unik.
Jalanannya ada yang melengkung membentuk bundaran. Pemandangan kota Surabaya
yang dipenuhi dengan deretan perumahan dan gedung-gedung terlihat samar-samar
dari atas tol yang letaknya lebih tinggi dari jalan biasa. Bus tidak berjalan
ditengah-tengah kota Surabaya, padahal aku ingin sekali melihat patung ikan
sura dan buaya yang menjadi ikon kota itu. Tak apa lah, semoga lain waktu bisa
kesini.
...
Bus kini berjalan di sore hari,
menelusuri jalan-jalan pantura yang ada di jawa timur. Hingga sampailah
disebuah daerah yang dipenuhi suara deru angin dan deburan ombak yang kencang,
itulah Banyuwangi. Banyuwangi merupakan kabupaten yang letaknya paling ujung
timur di pulau Jawa. Disini terdapat sebuah dermaga, yang dipenuhi lampu-lampu
temaram dari kapal-kapal maupun fery yang singgah disana, namanya pelabuhan
ketapang. “Ah, sebentar lagi aku akan sampai dirumah” gumamku. Tiba di dermaga,
bus yang kutumpangi mengantri untuk memasuki fery. Beberapa menit kemudian, aku
bersama penumpang lain segera turun dari bus dan menuju ruangan kapal.
...
Proooooommmpp... prooooommmpp...
tandanya fery mulai berangkat meniggalkan pulau Jawa, ya daratan pertama sudah
ditinggali. Kini aku sedang mengarungi lautan pertama, selat Bali. Perjalanan
ditempuh lebih kurang 30-45 menit. Saat itu, jam handphone sudah berubah
menunjukan waktu Indonesia tengah (WITA). Bali, adalah pulau utama tujuan
wisata turis mancanegara. Di Bali katanya seperti surga dunia, semua keindahan
bisa kau lihat disana, memang benar Indonesia memiliki warna-warni keindahan
alam yang jarang ditemukan ditempat lain di dunia ini. Bali juga kental dengan
budayanya, menjadikan salah satu daya tarik bagi siapapun untuk jadi penghibur
diri, pemuas kebutuhan diri manusia yang hakikatnya haus akan seni.
Bicara
tentang budaya, untungnya sekarang kebudayaan bergabung dalam kementrian
pendidikan. Pada zaman kekusaan gus dur adalah suatu kesalahan fatal karena
memasukan kebudayaan dalam lingkup kementrian pariwisata. Alhasil, budaya
seolah-olah hanya menjadi tontonan dan daya tarik pariwisata disisi lain,
mengingat sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang memberi pemasukan
yang banyak terhadap penghasilan negara.
Sekarang
bergabungnya budaya dalam kementrian pendidikan, diharapkan agar budaya itu
selain dijadikan tontonan juga dapat dilestarikan oleh generasi-generasi muda,
dengan memasukannya kedalam kurikulum pendidikan. Budaya yang dilestarikan akan
tetap hidup, mengingat zaman sekarang yang sudah banyak berubah serta
mempengaruhi pola pikir masyarakat terutama generasi kini.
Indonesia
seharusnya bangga karena memiliki warna-warni kehidupan yang unik. Tapi jangan
sampai keunikan itu sendiri malah direbut oleh orang lain atau bangsa lain, kan
kasihan nenek moyang yang sudah susah payah membuat tradisi-tradisi serta
keunikan-keunikan tersebut.
Lanjut
lagi ke perjalanan, setelah mengarungi lautan selama 40 menitan, fery pun
bersandar pada sebuah pelabuhan di pulau Bali, namanya pelabuhan Gilimanuk.
Daaan sampailah aku pada daratan yang kedua, jeng jeng jeng... Pulau Bali. Ya,
pulau Bali adalah pulau yang luasnya tak lebih dari 5.561 km2 dengan beberapa
pulau-pulau kecil disekelilingnya seperti nusa penida, nusa lembongan, dan nusa
ceningan. Aku bersyukur tinggal di NTB, kalau mudik seperti ini bisa lewat
Bali. Dan menurutku Kepulauan Nusa Tenggara memang indah, warna-warni keindahan
alamnya begitu beragam, dari pantai-pantai di Bali dan Lombok, sabana di
sumbawa, serta keindahan pulau komodo dan gunung kelimutu di NTT.
Ada
sebuah cerita yang miris menurutku ketika bus pertama kali menginjak pulau
Bali. Saat keluar dari wilayah pelabuhan, supir dan kernet bus menyuruh semua
penumpang untuk turun dan menyiapkan sesuatu. Kamipun disuruh berjalan menuju
sebuah pos yang ada segelintir oknum disana. Rupanya kami dibawa ke pos
pengecekan KTP. Jadi, peraturan di Bali ini sangat ketat, setiap bus/mobil yang
baru sampai dipulau Bali penumpangnya harus di cek apakah memiliki KTP atau
tidak. Tentunya warga yang di cek adalah warga yang berusia 17 tahun keatas.
Ketika itu umur saya sudah mencapai 17 tahun, tetapi aku juga diikutkan turun.
Masalahnya, ketika aku berangkat kuliah di Jakarta setahun yang lalu, aku belum
membuat KTP karena umur yang masih dibawah 17 tahun dan baru bisa pulang
kampung tahun ini.
Kemudian,
ketika tiba giliranku di tanya oleh petugas tersebut, aku hanya menunjukan
sebuah kartu identitas lain yaitu kartu mahasiswa. Tanpa pikir panjang, petugas
itu langsung menyuruhku masuk kedalam ruangan. Perasaanku deg degan, mau
diapakan aku ini. Kemudian diruangan tersebut aku ditanya, “mana KTPnya?”,
“belum ada pak soalnya saya kemarin pergi kuliah belum sempat buat KTP karena
belum cukup umur”. “kalau gitu, supaya gak berurusan dengan saya besok, lebih
baik kamu bayar biaya administrasi 20ribu”. Seketika aku tercengang mendengar
bahwa aku harus membayar 20ribu. Meskipun sudah bertanya-tanya mengapa harus
bayar 20ribu, tetap saja petugas-petugas itu ngotot dan akupun terpaksa
membayarnya. Apa ini? Aku sudah menjelaskan alasan dengan sejujur-jujurnya,
tapi malah disuruh bayar. Lantas, apakah gunanya memeriksa KTP ini?, apakah
hanya modus?, apakah pihak-pihak ini sudah punya izin dari pemerintah?, buat
apa administrasi? Padahal cuma gak punya KTP. Ini menjadi sebuah pertanyaan
bagiku, kenapa di Indonesia harus bayar, bayar, dan bayar. Sedikit, sedikit
bayar. Toilet umum bayar. Zaman sekarang banyak sekali modus pencarian uang.
Tidak
hanya aku, beberapa penumpang lain juga harus membayar karena alasan yang
beragam, seperti masa berlaku KTPnya sudah habis, tidak membawa KTP dan
sebagainya. Tapi sudahlah, aku mestinya bersikap husnudzon. Siapa tahu uang itu
memang dipakai untuk kebutuhan administrasi, tidak disalah gunakan apalagi
dipakai untuk kepentingan pribadi.
Bus kini berjalanan
meninggalkan pelabuhan. Matahari kini berada di ufuk barat. Saat itu sudah
malam hari, tetapi aku masih bisa melihat indahnya pulau Bali. Latar
pura sering terlihat dipinggir jalan dan desain arsitektur bangunannya banyak
yang mengikuti ciri khas Bali. Jalan-jalan diaspal rata dan tertata rapi,
benar-benar rapi. Sepanjang jalan setelah melewati kota Denpasar, kita akan
disuguhi pemandangan laut. Terkadang aku melihat sekumpulan orang-orang Bali
dengan pakaian adat mereka, sepertinya sedang melaksanakan sebuah upacara adat.
Oh iya, pulau Bali
adalah provinsi keempat dalam ekspedisi kali ini, masih ada satu provinsi lagi
yang harus ditempuh. Artinya, kampung halaman semakin dekat.
Semakin dekat
untuk bertemu ayah dan ibu.
Bersambung ke Bagian III...
0 comments:
Post a Comment