SELAMAT DATANG

WELCOME TO MY BLOG! berbagi ilmu & pengetahuan lewat blog ini

Monday 16 June 2014

Pelangi di Kaki Gunung



Pelangi di Kaki Gunung
Oleh : Ayub Abdul Rahman

Teriknya matahari kala itu memaksa keringat mengucur dari tubuh yang sudah lelah ini. Hampir setiap hari, disepanjang tahun, sang surya selalu perhatian untuk terus memancarkan energinya. Wajah kami menghitam, kulit kami mengering, lama kelamaan kami terlihat seperti orang dekil. Bagaimana tidak? Kegiatan kami sehari-hari adalah beraktivitas diluar ruangan. Kami suka main ke sawah, mandi di sungai, gembala ternak semua kami lakukan dengan suka cita.
Kami tidak memakai sendal, bukan berarti orang tua kami tidak mampu. Menapaki bumi dengan kaki kosong lebih mengasyikan. Kami juga bukan anak orang kaya, kami hanya anak desa yang masih lugu,  dan kami sangat dekat dengan alam, apalagi aku. Ya, bagiku alam ini adalah karunia, karunia yang sangat indah dari sang pencipta.

Namaku Rahman, seorang anak dari desa Tambora. Sebuah desa yang terletak dibawah kaki gunung Tambora, Pulau Sumbawa. Entah mengapa, aku tidak merasa memiliki beban hidup. Setiap hari kujalani dengan hati yang gembira. Tak pernah terpikir olehku, mengapa aku dilahirkan dari keluarga petani, mengapa aku harus tinggal di desa yang jauh dari kota seperti ini. Keadaanlah yang membuatku begitu. Membuat hatiku selalu tentram.
Apakah engkau mengerti maksudku kawan? Sebab, alam mendukungku untuk selalu berada disini. Tak peduli panas yang diderita, tanpa menghiraukan lebatnya hutan yang rimba. Aku selalu setia kepadamu, alam. Karena aku terlahir disini.
Begitu juga dengan teman-temanku. Alif, Fakhri, dan Rani, mereka selalu menemani petualanganku tiap hari. Menyusuri hutan adalah favorit kami, maklumlah tempat tinggal kami tidak terlalu jauh dari kawasan hutan. Terkadang setiap pulang sekolah, kami berkumpul di rumah Rani untuk sekedar bermain tapa gala, sebuah permainan khas dari daerah kami. Tak jarang kami membicarakan tentang petualangan apa yang akan kami lakukan hari ini.
...
Pagi ini sangat cerah, kami sebelumnya sudah menyusun sebuah rencana petualangan untuk hari ini.
“mana Fakhri?”, aku melihat kesekeliling rumah Rani tempat kami berkumpul.
“apa dia belum bangun ya?”, timpal Rani. Aku segera menjemput Fakhri di rumahnya,
“tunggu sebentar ya..”.
Sesampainya disana, benar saja yang dibilang Rani. Fakhri orang yang paling malas bangun pagi,
“ri, ayo bangun... mau ikut cari keong gak?”. Mendengar suaraku, Fakhri langsung bergegas bangun dari tempat tidurnya dan mencuci muka. Belum lama aku menunggu,
“ayo man, kita pergi sekarang...”. si Fakhri segera menarik tanganku keluar dari rumahnya dan kami bergegas kembali kerumah Rani.
Sebelum kami pergi, ibunya Rani berjanji akan memasakan keong yang kami dapat. Ketika personilnya sudah lengkap, kami bepamitan dengan tak lupa membawa sebuah ember kosong.
“jangan ambil disawah yang sudah dipupuk ya”, pesan ibunya Rani. Kamipun lekas pergi menuju TKP. Andaikan kami seperti si bolang yang ada di tv, ada kamera yang selalu menyorot kami, kami bergaya bak anak-anak yang sedang di syuting. Kemana-mana selalu bersama, tak kenal lelah yang penting senang dihati.
...
Pemandangan alam di desaku sungguh menakjubkan, sawah-sawah tersusun rapi mengikuti lekukan bukit-bukit, sekilas seperti anak tangga. Dari persawahan ini, gunung tambora dapat dilihat lebih jelas. Kami segera mencari sawah yang banyak keongnya, tentunya yang belum  memasuki masa pupuk. Keong yang kami cari ini tentunya bisa dimakan, apalagi jika direbus.
Satu per satu keong-keong berjatuhan dalam ember, “plok...plok.plok...”. Tak terasa telah seember keong sawah telah kami kumpulkan. Rasanya sudah cukup untuk dibawa pulang dan dimasak dirumah. Kamipun kembali kerumah Rani dan menagih janji ibunya.
“oke, ibu akan memasaknya untuk kalian. Tapi kalian harus menunggunnya sampai besok, keong-keong ini harus direndam dulu dalam air agar kotoran-kotorannya terangkat.”. penjelasan beliau membuat kami sedikit kecewa, tapi sebagai gantinya beliau memberikan kami jagung rebus sebagai upah lelah kami sebelumnya.
...
Ciri khas kampungku itu sangat panas ketika di siang hari, tetapi  berubah menjadi sangat dingin jika hari sudah gelap. Di saat siang hari seperti ini, kami anak kampung malah memanfaatkan waktu untuk bermain diluar luar. Hasilnya, kulit-kulit kami menjadi hitam dan kering.
Di siang yang terik itu, aku mengajak teman-teman untuk bermain ke padang sabana di balik bukit Afu, bukit yang tak jauh dari rumahku. Kali ini kami akan bermain menunggang kuda. Meskipun keluargaku tidak memilki kuda, tapi aku mempunyai seekor kuda yang biasa aku tunggangi. Si Kelana namanya. Ia adalah kuda milik tetanggaku, pak sobri. Setiap hari, ayahku dipekerjakan oleh pak sobri untuk membersihkan kandang kudanya.
Kali ini aku yang akan membersihkan kandangnya bersama Fakhri. Tentu kali ini ada maksudnya, meminjam kudanya pak sobri untuk diajak bermain. Pak sobripun dengan senang hati meminjamkannya karena beliau telah mempercayai kami.
Setelah merampungkan pekerjaan, kini saatnya si Kelana dan Kembara kami ajak bermain. Hap.. hap.. dengan lincahnya aku dan Fakhri naik ke punggung kuda. Tak perlu pelana, cukup tali di kepala sebagai alat kemudinya.
Setibanya di padang sabana, Rani dan Alif sudah menunggu disana. Alif memiliki kuda sendiri.
“ayo kita balapan tiga kali keliling lapangan, siapa yang kalah, dia harus gendong yang menang. Berani?”,Alif menantang kami.
“ayo, siapa takut..”, kami berdua serempak menerima tawaran Fakhri.
“Ran, kami jadi jurinya ya”,, dan Ranipun mengangguk karena hanya Rani yang tak memilki kuda.
“satu.... dua.... tiga....”
Aba-aba Rani, pertanda pertandingan dimulai. Aku bergaya bak seorang joki muda di arena pacuan kuda. Pertandingan berjalan sengit, kami saling menyusul satu sama lain. Persaingan ini rupanya mengambil alih perhatian orang-orang yang ada disekitar padang sabana itu.
Satu putaran, dua putaran, dan akhirnya masuk ke putaran ketiga. Rasanya aku mulai letih. Pelan-pelan kecepatanku berkurang dan akhirnya aku tertinggal dibelakang. Namun persaingan yang sengit justru terjadi diantara Fakhri dan Alif yang akan mencapai garis finish.
“Alif... ayo cepaaaattt.... ayo...”, digaris finish Rani berteriak seperti histeris. Ternyata dia mendukung Alif. Dan benar saja Aliflah, yang duluan mencapai garis akhir. Peraturan harus ditaati, kini aku harus menggendong Alif keliling padang sabana. Hal-hal seperti ini tak memicu rasa dendam, karena kami adalah sahabat. Apapun yang kami lakukan, kami lakukan dengan suka cita.
...
 Suasana hutan kini ada ditengah-tengah kami, sayup-sayup angin menemani perjalanan kami. Sambil berjalan sepasang mata ini tetap menatap liar kesemua penjuru hutan. Tidak jarang kami mendongakkan kepala untuk dapat melihat sarang lebah yang menggantung diatas pohon.
Hari ini kami akan berkelana ke hutan, untuk mencari sarang lebah. Masyarakat di kampungku rutin mencari sarang lebah untuk dikonsumsi maupun di jual. Apalagi saat musimnya, banyak orang berlomba untuk mencarinya.
Mana sih sarang lebahnya?kok belum kelihatan,” ekspresi wajah Rani yang riang kini berubah menjadi pasrah.
“Tenang, pasti sebentar lagi ketemu ran...” tukas Alif meyakinkan.
Satu jam berlalu, tidak ada tanda-tanda sekumpulan lebah yang mengumpul. Kamipun lelah hingga akhirnya kami menemukan sebuah pohon besar yang rindang. Dibawah pohon kami mencoba menghilankan lelah dengan bercanda, main tebak-tebakan, dan melakukan hal-hal yang menyenangkan.
Tiba-tiba ada yang mengganggu kesenangan kami, Rani berteriak kencang ketika sebuah serangga terbang mengikuti dirinya kemanapun ia lari. Sontak kami terkaget dan langsung membantunya. Ternyata itu adalah lebah,
hussh.. hushh..pergi.. pergi.. “, aku berusaha mengusirnya.
Belum selesai dengan masalah yang tadi, kini aku dikejutkan oleh si Alif yang berteriak namun nampaknya seperti kegirangan.
“teman-teman segera kesini, cepat kesini...”, sahut Alif, ia memanggil kami dengan nada yang histeris. Apa yang didapat oleh Alif mengundang decak kagum teman-temannya, inilah yang kami maksud, sarang lebah hutan. Wah.. wah.. rupanya disini mereka bersembunyi. Sarang itu rupanya besar sekali, sepertinya lama pembuatannya sudah lebih dari seminggu. Lihatlah kesana, betapa menggiurkan madu-madu yang terkandung didalamnya,
“hmmm... pasti manis sekali”, timpal Rani yang kini mulai berani mendekat.
Kamipun mulai mengatur strategi, siapa yang naik keatas pohon dan siapa yang menunggu dibawah. Aku dan Fakhri memutuskan untuk yang menaiki pohon, sedangkan Rani dan Alif menunggu dari bawah. Sebelum beraksi kami harus membuat asap, caranya mudah yaitu dengan mengumpulkan daun beserta dahannya kemudian dibakar sehingga timbulah asap yang mengepul. Ini berguna untuk menyingkirkan lebah dari sarang mereka.
Setelah siap, mulailah aku yang memanjat pohon itu. Disini tidak membutuhkan alat untuk memanjat, yang terpenting adalah keterampilan dalam memanjat dan keberanian. Kami anak-anak desa sudah terlatih akan hal itu. Fakhri menyusul dari bawah, ia juga memegang daun berasap sama sepertiku untuk perlindungan diri.
“pergi kalian.. pergi kalian..” bisikku setengah emosi kepada lebah-lebah yang egois itu, mereka seakan tak rela mahakaryanya diganggu dan diambil oleh manusia seperti kami. Tapi apa salahnya kami? Allah sudah jelas-jelas menerangkannya dalam Al-Qur’an tentang keistimewaan kalian. Senang rasanya bahwa alam ini senantiasa mendukung keberlangsungan hidup kami. Kami tak perlu takut untuk kekurangan makanan.
Usaha demi usaha terus aku lakukan agar lebah-lebah itu pergi, sedangkan Fakhri memandang dari batang pohon yang berada dibawahku, sepertinya dia agak ketakutan.
“ayo man, kamu pasti bisa”, serunya untuk menyemangatiku. Man Jadda wa Jada, dan akhirnya bruukk.... satu bongkahan sarang madu tumbang di hari itu. Semua kegirangan, usahaku ternyata tidak sia-sia.
Alif langsung menghampiri dan memindahkannya kedalam nampan yang dibawa dari rumah. Kemudian kami membersihkan kotoran-kotoran yang menempel disarang. Tak ketinggalan nikmatnya sarang madu itu kami cicip sedikit untuk mengganjal perut yang lapar sedari tadi.
Hari sudah semakin siang dan panas mentari sangat menyengat, kami pulang dengan wajah bahagia. Sedangkan aku berharap saat kembali nanti, ibu dan ayah senang melihat apa yang kubawa.
...
“amaaa... inaaa..., amaa.... inaaa...”, aku berusaha memanggil ayah dan ibuku. Tetapi tak satupun suara yang menyahut kembali. Nampan yang berisi sarang madu tadi  kuletakkan di pintu rumah. Lalu kucoba telusuri bagian rumah, pantaslah tidak ada yang menyahut, rumah ini kosong seakan tak ada pemiliknya. Kemana perginya ayah dan ibuku? Apakah alam telah menelan mereka?. Aku khawatir dan terus mencari karena tak biasanya di siang hari seperti ini ayah dan ibu tidak ada dirumah.
“hey, jangan ribut?orang tuamu sudah pergi..” terdengar suara yang lantang dari rumah sebelah. Ternyata Bibi Sum daritadi merasa terganggu dengan suaraku.
“mereka pergi kemana bibi?”. Bibi Sum terdiam sejenak, sepertinya ada yang dia sembunyikan. Lalu bibi mengajakku duduk di kursi sembari menenangkanku. Ia berbisik banyak kepadaku tentang kejadian yang dialami orang tua. Bisikannya itu membuat hatiku tersentak , aku tak kuasa menahan air mata. Segera aku meninggalkan bibi yang ikut prihatin, bibi tak kuasa menghadangku untuk pergi darinya.
Aku berlari mencari sesuatu untuk meluapkan emosi, hingga akhirnya kudekati sebuah pohon beringin yang rindang tepat di atas bukit kering yang sunyi. Aku duduk dibawah pohon merenungi kekacauan hatiku saat ini. Apa yang akan terjadi kepada ayahku nantinya?. Aku mengingat seseorang yang bernasib sama seperti ayah akhirnya meregang nyawa.
Memang sudah seminggu terakhir ayah terbaring lemah di kasur karena demam. Dibawah telapak kaki ayahku terdapat luka yang belum lama. Luka akibat tergores benda tajam dikarenakan ayah yang selalu bekerja tidak memakai alas kaki. Sayangnya, ia tak peduli bahwa kotoran kuda yang sering ia injak dari mengurusi kandang kuda milik tetangga dapat membawa penyakit bagi dirinya. Kotoran kuda yang membawa banyak virus itupun menginfeksi kaki ayah.
Kini aku tak tahu harus berbuat apa, kuharap ibu yang kini tengah mendampingi ayah di rumah sakit pulang untuk menjemputku. Aku ingin melihat ayah, aku ingin berada disamping ayah.
...
Hari semakin sore, perutku dari tadi menggerutu ingin dimasukan sesuatu. Akhirnya aku menyerah dan kembali pulang kerumah. Suasana hening kudapati lagi disekekeliling rumahku. Teman-temanku sepertinya belum ada yang tahu kabar yang menimpa keluargaku. Kulihat didepan pintu rumah, masih tersisa banyak sarang madu dalam nampan. Kucolek sedikit untuk menahan rasa lapar.
Langit jingga kini perlahan mulai menghiasi atap dunia ini. Dari kejauhan terlihat seorang lelaki tua  bersama seorang anak kecil sedang menuju rumahku. Perasaanku biasa saja karena sepertinya aku mengenal mereka, Alif dan ayahnya. Setibanya dirumahku, Alif langsung menunjuk sarang madu yang ada didekatku.
“kapan ini diambil, nak rahman?” tanya ayahnya.  Lelaki itu lalu memeriksa keadaan sarang lebah itu dan sedikit mencoleknya.
“tadi siang pak. Kami masuk hutan berempat, terus kami cari-cari dimana ada tempat berkumpul lebah-lebah, tapi lama sekali. Kami sampai capek dan main-main dihutan, terus Rani hampir digigit lebah, untung kita lawan lebah itu jadinya Rani gak digigit lebah. Tapi pas ketemu sarang lebah itu, saya langsung buat asap terus saya naik keatas pohon. Sampai sarang lebahnya dapat. Tadi Alif ikut juga kok...”, dengan logat daerahku, aku berusaha menjelaskan kejadian tadi siang sejelas-jelasnya kepada ayahnya Alif dengan berandai seperti aku menceritakan pada ayahku.
“hmm,,, madunya manis. Harganya berapa nak?”, ternyata beliau tertarik dengan sarang madu ini dan mau membelinya. Aku terkejut dan bingung, mengapa ada orang yang mau membeli madu seperti ini?
“tapi, iniu bukan punya saya saja pak, ini punya alif juga dan teman-teman yang lain..”, jelasku karena tidak enak dengan yang lainnya.
“gak apa-apa man, kan yang ambil dari pohonnya itu kamu. Bukannya sekarang ayahmu sedang masuk rumah sakit? Siapa tahu uangnya bisa dipakai untuk beli obat. Fakhri dan Rani, nanti aku yang jelaskan ke mereka”, Alif meyakinkanku dengan senyuman. Ia memang sahabatku yang paling baik, diantara sahabat-sahabat baikku.
“saya bayar dua ratus ribu ya?” tawaran ayah Alif sedikit mengagetkanku.belum pernah sebelumnya aku menghasilkan uang sampai sebesar itu. Karena uang tersebut kuanggap besar, aku langsung menerimanya dengan senang hati dan siapa tahu aku bisa membeli obat untuk ayah dengan uang ini. Aku langsung mencari plastik besar yang ada didalam rumah sebagai pembungkus sarang lebah.
“makasih ya pak..” ,
“ya, sama-sama, semoga ayahmu cepat sembuh ya”
Mereka berduapun pergi meninggalkanku dengan membawa sarang lebah itu. Nampan yang tadi, ternyata masih menyisakan madu yang meleleah dari sarangnya. Segera ku sikat madu itu, sampai nampan itu bersih sperti telah dicuci.
Belum lama, aku ditinggal oleh Alif dan Ayahnya. Tiba-tiba datanglah seorang lelaki tua, beliau adalah tetanggaku yang sering kupanggil kakek Din. Rupanya beliau merupakan suruhan ibu untuk mengantarku kerumah sakit dikota.
“mai ta lao, ina mu waura ngena ta uma saki”, dialek dan logat daerah beliau sangat kental karena beliau tidak bisa berbahasa Indonesia. Tanpa berkata-kata, aku segera mengganti baju dan mengunci rumah. Kamipun berjalan meninggalkan rumahku, dan diujung jalan sana sudah menunggu seorang lelaki yang lebih muda dengan sepeda motornya.
Langit jingga semakin menguasai atap bumi, kepergian kami ditemani lembayung senja yang seakan mengerti perasaanku saat ini. Gelisah dan sedih, langit senjapun sepertinya merasakan itu. Terlihat bahwa dari tadi ia mengeluarkan suara gemuruh dan rintikan air kesedihan. Hingga saatnya langit senja meluapkan emosinya ketika kami sedang menelusuri jalan beraspal ini. Kami kebasahan, tapi tidak menyerah untuk tetap membelah hutan disepanjang jalan.
...
“Ayah.. ayah..”, aku meneteskan air mata ketika melihat ayah kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Ibupun tak kuasa menahan tangis ketika melihatku datang menampilkan raut wajah sedih. Kini yang lebih menyakitkan lagi, ayah sedang berjuang melawan cobaan sakaratul maut.
Aku memeluk ibu, kulihat wajah ibu yang tetap tegar walaupun air matanya terus berlinang. Kalimat-kalimat Allah tak henti mengalir dari mulutnya mengajak ayah untuk mengucapkan kalimat syahadat. Aku sendiri tak kuasa melihat ayah yang sedang berjuang melawan sakaratul maut.
Detik demi detik berlalu, Yang kuasa telah menentukan takdirnya. Ayah kini telah menghembuskan nafas terakhirnya. Kini yang ada hanya tangisan yang memecahkan keheningan ruangan itu. Menangisi jasad pucat yang telah tertutupi selembar kain. Memori ingatanku mengajak aku kembali mengingat masa lalu saat bersama ayah. Hanya hal-hal indah yang teringat di pikiranku saat itu, memori yang indah saja.
...
Esoh harinya merupakan hari yang lebih kelam dari hari sebelumnya. Batinku berkata, “Inilah hari terakhir aku melihat wajahmu ayah..”.
Disaat setiap orang sibuk untuk mengurus pemakaman dan jasad ayahku. Aku mencari ketenangan di tempat yang teduh, di bawah pohon beringin diatas bukit yang kering ini. Langitpun menghitam, Sepertinya ia merasakan apa yang kurasakan saat ini. Sesaat kemudian ia menangis, menumpahkan segala kegundahan hatinya hingga akhirnya ia pulih seperti sedia kala.
Ketiga sahabatku merasa iba, dan menyusulku disini. Kami tak saling menyapa, kami hanya terdiam menatap langit. Aku sendiri masih merenung, mungkin seharusnya aku belajar dari langit. Dari senyum manis yang terdapat pada pelanginya.

Terpaan angin menyambar tubuhku
Membangunkan tubuh yang sedih ini
Tapi, apakah kau mengerti isi hatiku, angin?
Deras hujan turun membasahi tubuhku
Menyadarkan tubuh yang gundah ini
Tapi, apakah kau mengerti isi hatiku, hujan?

Aku kira langit sedang gelisah
Aku pikir langit sedang marah
Dan aku ingin menghiburmu, langit
Tapi ternyata bukan itu  yang kau rasakan
 Aku tidak mengerti perasaanmu
Kau yang lebih mengerti isi hatiku
Kau yang lebih dulu mengajarkanku
Bangkit dari kegundahan
Dari pelangi yang muncul dalam senyummu
Kini, Aku mengerti





0 comments:

Post a Comment