Pelangi
di Kaki Gunung
Oleh : Ayub Abdul Rahman
Teriknya
matahari kala itu memaksa keringat mengucur dari tubuh yang sudah lelah ini. Hampir
setiap hari, disepanjang tahun, sang surya selalu perhatian untuk terus
memancarkan energinya. Wajah kami menghitam, kulit kami mengering, lama
kelamaan kami terlihat seperti orang dekil.
Bagaimana tidak? Kegiatan kami sehari-hari adalah beraktivitas diluar ruangan.
Kami suka main ke sawah, mandi di sungai, gembala ternak semua kami lakukan
dengan suka cita.
Kami tidak memakai sendal, bukan berarti orang tua kami
tidak mampu. Menapaki bumi dengan kaki kosong lebih mengasyikan. Kami juga
bukan anak orang kaya, kami hanya anak desa yang masih lugu, dan kami sangat dekat dengan alam, apalagi
aku. Ya, bagiku alam ini adalah karunia, karunia yang sangat indah dari sang
pencipta.
Namaku Rahman, seorang anak dari
desa Tambora. Sebuah desa yang terletak dibawah kaki gunung Tambora, Pulau
Sumbawa. Entah mengapa, aku tidak merasa memiliki beban hidup. Setiap hari
kujalani dengan hati yang gembira. Tak pernah terpikir olehku, mengapa aku
dilahirkan dari keluarga petani, mengapa aku harus tinggal di desa yang jauh
dari kota seperti ini. Keadaanlah yang membuatku begitu. Membuat hatiku selalu
tentram.
Apakah engkau mengerti maksudku
kawan? Sebab, alam mendukungku untuk selalu berada disini. Tak peduli panas
yang diderita, tanpa menghiraukan lebatnya hutan yang rimba. Aku selalu setia
kepadamu, alam. Karena aku terlahir disini.
Begitu juga dengan teman-temanku.
Alif, Fakhri, dan Rani, mereka selalu menemani petualanganku tiap hari.
Menyusuri hutan adalah favorit kami, maklumlah tempat tinggal kami tidak
terlalu jauh dari kawasan hutan. Terkadang setiap pulang sekolah, kami
berkumpul di rumah Rani untuk sekedar bermain tapa gala, sebuah permainan khas dari daerah kami. Tak jarang kami
membicarakan tentang petualangan apa yang akan kami lakukan hari ini.
...
Pagi ini sangat cerah, kami
sebelumnya sudah menyusun sebuah rencana petualangan untuk hari ini.
“mana
Fakhri?”, aku melihat kesekeliling rumah Rani tempat kami
berkumpul.
“apa
dia belum bangun ya?”, timpal Rani. Aku segera menjemput
Fakhri di rumahnya,
“tunggu
sebentar ya..”.
Sesampainya disana, benar saja yang
dibilang Rani. Fakhri orang yang paling malas bangun pagi,
“ri,
ayo bangun... mau ikut cari keong gak?”. Mendengar suaraku,
Fakhri langsung bergegas bangun dari tempat tidurnya dan mencuci muka. Belum
lama aku menunggu,
“ayo
man, kita pergi sekarang...”. si Fakhri segera
menarik tanganku keluar dari rumahnya dan kami bergegas kembali kerumah Rani.
Sebelum kami pergi, ibunya Rani
berjanji akan memasakan keong yang kami dapat. Ketika personilnya sudah
lengkap, kami bepamitan dengan tak lupa membawa sebuah ember kosong.
“jangan
ambil disawah yang sudah dipupuk ya”, pesan ibunya Rani.
Kamipun lekas pergi menuju TKP.
Andaikan kami seperti si bolang yang ada di tv, ada kamera yang selalu menyorot
kami, kami bergaya bak anak-anak yang sedang di syuting. Kemana-mana selalu
bersama, tak kenal lelah yang penting senang dihati.
...
Pemandangan alam di desaku sungguh
menakjubkan, sawah-sawah tersusun rapi mengikuti lekukan bukit-bukit, sekilas
seperti anak tangga. Dari persawahan ini, gunung tambora dapat dilihat lebih
jelas. Kami segera mencari sawah yang banyak keongnya, tentunya yang belum memasuki masa pupuk. Keong yang kami cari ini
tentunya bisa dimakan, apalagi jika direbus.
Satu per satu keong-keong
berjatuhan dalam ember, “plok...plok.plok...”.
Tak terasa telah seember keong sawah telah kami kumpulkan. Rasanya sudah
cukup untuk dibawa pulang dan dimasak dirumah. Kamipun kembali kerumah Rani dan
menagih janji ibunya.
“oke,
ibu akan memasaknya untuk kalian. Tapi kalian harus menunggunnya sampai besok,
keong-keong ini harus direndam dulu dalam air agar kotoran-kotorannya
terangkat.”. penjelasan beliau membuat kami sedikit
kecewa, tapi sebagai gantinya beliau memberikan kami jagung rebus sebagai upah
lelah kami sebelumnya.
...
Ciri khas kampungku itu sangat
panas ketika di siang hari, tetapi
berubah menjadi sangat dingin jika hari sudah gelap. Di saat siang hari
seperti ini, kami anak kampung malah memanfaatkan waktu untuk bermain diluar
luar. Hasilnya, kulit-kulit kami menjadi hitam dan kering.
Di siang yang terik itu, aku
mengajak teman-teman untuk bermain ke padang sabana di balik bukit Afu, bukit
yang tak jauh dari rumahku. Kali ini kami akan bermain menunggang kuda.
Meskipun keluargaku tidak memilki kuda, tapi aku mempunyai seekor kuda yang
biasa aku tunggangi. Si Kelana namanya. Ia adalah kuda milik tetanggaku, pak
sobri. Setiap hari, ayahku dipekerjakan oleh pak sobri untuk membersihkan
kandang kudanya.
Kali ini aku yang akan membersihkan
kandangnya bersama Fakhri. Tentu kali ini ada maksudnya, meminjam kudanya pak
sobri untuk diajak bermain. Pak sobripun dengan senang hati meminjamkannya
karena beliau telah mempercayai kami.
Setelah merampungkan pekerjaan,
kini saatnya si Kelana dan Kembara kami ajak bermain. Hap.. hap.. dengan
lincahnya aku dan Fakhri naik ke punggung kuda. Tak perlu pelana, cukup tali di
kepala sebagai alat kemudinya.
Setibanya di padang sabana, Rani
dan Alif sudah menunggu disana. Alif memiliki kuda sendiri.
“ayo
kita balapan tiga kali keliling lapangan, siapa yang kalah, dia harus gendong
yang menang. Berani?”,Alif menantang kami.
“ayo,
siapa takut..”, kami berdua serempak menerima tawaran
Fakhri.
“Ran,
kami jadi jurinya ya”,, dan Ranipun mengangguk karena
hanya Rani yang tak memilki kuda.
“satu....
dua.... tiga....”
Aba-aba Rani, pertanda pertandingan
dimulai. Aku bergaya bak seorang joki muda di arena pacuan kuda. Pertandingan
berjalan sengit, kami saling menyusul satu sama lain. Persaingan ini rupanya
mengambil alih perhatian orang-orang yang ada disekitar padang sabana itu.
Satu putaran, dua putaran, dan
akhirnya masuk ke putaran ketiga. Rasanya aku mulai letih. Pelan-pelan
kecepatanku berkurang dan akhirnya aku tertinggal dibelakang. Namun persaingan
yang sengit justru terjadi diantara Fakhri dan Alif yang akan mencapai garis
finish.
“Alif...
ayo cepaaaattt.... ayo...”, digaris finish Rani berteriak
seperti histeris. Ternyata dia mendukung Alif. Dan benar saja Aliflah, yang
duluan mencapai garis akhir. Peraturan harus ditaati, kini aku harus
menggendong Alif keliling padang sabana. Hal-hal seperti ini tak memicu rasa
dendam, karena kami adalah sahabat. Apapun yang kami lakukan, kami lakukan
dengan suka cita.
...
Suasana hutan kini ada ditengah-tengah kami,
sayup-sayup angin menemani perjalanan kami. Sambil berjalan sepasang mata ini
tetap menatap liar kesemua penjuru hutan. Tidak jarang kami mendongakkan kepala
untuk dapat melihat sarang lebah yang menggantung diatas pohon.
Hari ini kami akan berkelana ke
hutan, untuk mencari sarang lebah. Masyarakat di kampungku rutin mencari sarang
lebah untuk dikonsumsi maupun di jual. Apalagi saat musimnya, banyak orang
berlomba untuk mencarinya.
“Mana sih sarang lebahnya?kok belum kelihatan,” ekspresi wajah Rani
yang riang kini berubah menjadi pasrah.
“Tenang,
pasti sebentar lagi ketemu ran...” tukas Alif meyakinkan.
Satu jam berlalu, tidak ada
tanda-tanda sekumpulan lebah yang mengumpul. Kamipun lelah hingga akhirnya kami
menemukan sebuah pohon besar yang rindang. Dibawah pohon kami mencoba
menghilankan lelah dengan bercanda, main tebak-tebakan, dan melakukan hal-hal
yang menyenangkan.
Tiba-tiba ada yang mengganggu
kesenangan kami, Rani berteriak kencang ketika sebuah serangga terbang
mengikuti dirinya kemanapun ia lari. Sontak kami terkaget dan langsung
membantunya. Ternyata itu adalah lebah,
“hussh.. hushh..pergi.. pergi.. “, aku berusaha mengusirnya.
Belum selesai dengan masalah yang
tadi, kini aku dikejutkan oleh si Alif yang berteriak namun nampaknya seperti
kegirangan.
“teman-teman
segera kesini, cepat kesini...”, sahut Alif, ia
memanggil kami dengan nada yang histeris. Apa yang didapat oleh Alif mengundang
decak kagum teman-temannya, inilah yang kami maksud, sarang lebah hutan. Wah..
wah.. rupanya disini mereka bersembunyi. Sarang itu rupanya besar sekali,
sepertinya lama pembuatannya sudah lebih dari seminggu. Lihatlah kesana, betapa
menggiurkan madu-madu yang terkandung didalamnya,
“hmmm...
pasti manis sekali”, timpal Rani yang kini mulai berani
mendekat.
Kamipun mulai mengatur strategi,
siapa yang naik keatas pohon dan siapa yang menunggu dibawah. Aku dan Fakhri
memutuskan untuk yang menaiki pohon, sedangkan Rani dan Alif menunggu dari
bawah. Sebelum beraksi kami harus membuat asap, caranya mudah yaitu dengan
mengumpulkan daun beserta dahannya kemudian dibakar sehingga timbulah asap yang
mengepul. Ini berguna untuk menyingkirkan lebah dari sarang mereka.
Setelah siap, mulailah aku yang
memanjat pohon itu. Disini tidak membutuhkan alat untuk memanjat, yang
terpenting adalah keterampilan dalam memanjat dan keberanian. Kami anak-anak
desa sudah terlatih akan hal itu. Fakhri menyusul dari bawah, ia juga memegang
daun berasap sama sepertiku untuk perlindungan diri.
“pergi
kalian.. pergi kalian..” bisikku setengah emosi kepada
lebah-lebah yang egois itu, mereka seakan tak rela mahakaryanya diganggu dan
diambil oleh manusia seperti kami. Tapi apa salahnya kami? Allah sudah
jelas-jelas menerangkannya dalam Al-Qur’an tentang keistimewaan kalian. Senang
rasanya bahwa alam ini senantiasa mendukung keberlangsungan hidup kami. Kami
tak perlu takut untuk kekurangan makanan.
Usaha demi usaha terus aku lakukan
agar lebah-lebah itu pergi, sedangkan Fakhri memandang dari batang pohon yang
berada dibawahku, sepertinya dia agak ketakutan.
“ayo
man, kamu pasti bisa”, serunya untuk menyemangatiku. Man
Jadda wa Jada, dan akhirnya bruukk.... satu bongkahan sarang madu tumbang di
hari itu. Semua kegirangan, usahaku ternyata tidak sia-sia.
Alif langsung menghampiri dan
memindahkannya kedalam nampan yang dibawa dari rumah. Kemudian kami
membersihkan kotoran-kotoran yang menempel disarang. Tak ketinggalan nikmatnya
sarang madu itu kami cicip sedikit untuk mengganjal perut yang lapar sedari
tadi.
Hari sudah semakin siang dan panas
mentari sangat menyengat, kami pulang dengan wajah bahagia. Sedangkan aku
berharap saat kembali nanti, ibu dan ayah senang melihat apa yang kubawa.
...
“amaaa...
inaaa..., amaa.... inaaa...”, aku berusaha memanggil
ayah dan ibuku. Tetapi tak satupun suara yang menyahut kembali. Nampan yang
berisi sarang madu tadi kuletakkan di
pintu rumah. Lalu kucoba telusuri bagian rumah, pantaslah tidak ada yang
menyahut, rumah ini kosong seakan tak ada pemiliknya. Kemana perginya ayah dan
ibuku? Apakah alam telah menelan mereka?. Aku khawatir dan terus mencari karena
tak biasanya di siang hari seperti ini ayah dan ibu tidak ada dirumah.
“hey,
jangan ribut?orang tuamu sudah pergi..” terdengar suara yang
lantang dari rumah sebelah. Ternyata Bibi Sum daritadi merasa terganggu dengan
suaraku.
“mereka
pergi kemana bibi?”. Bibi Sum terdiam sejenak, sepertinya ada
yang dia sembunyikan. Lalu bibi mengajakku duduk di kursi sembari
menenangkanku. Ia berbisik banyak kepadaku tentang kejadian yang dialami orang
tua. Bisikannya itu membuat hatiku tersentak , aku tak kuasa menahan air mata.
Segera aku meninggalkan bibi yang ikut prihatin, bibi tak kuasa menghadangku
untuk pergi darinya.
Aku
berlari
mencari
sesuatu
untuk
meluapkan
emosi, hingga
akhirnya
kudekati
sebuah
pohon
beringin yang rindang
tepat di atas
bukit
kering
yang sunyi.
Aku
duduk
dibawah
pohon
merenungi
kekacauan
hatiku
saat
ini. Apa yang akan
terjadi
kepada
ayahku
nantinya?.
Aku mengingat seseorang yang bernasib sama seperti ayah akhirnya meregang
nyawa.
Memang sudah seminggu terakhir ayah
terbaring lemah di kasur karena demam. Dibawah telapak kaki ayahku terdapat
luka yang belum lama. Luka akibat tergores benda tajam dikarenakan ayah yang
selalu bekerja tidak memakai alas kaki. Sayangnya, ia tak peduli bahwa kotoran
kuda yang sering ia injak dari mengurusi kandang kuda milik tetangga dapat
membawa penyakit bagi dirinya. Kotoran kuda yang membawa banyak virus itupun
menginfeksi kaki ayah.
Kini aku tak tahu harus berbuat
apa, kuharap ibu yang kini
tengah
mendampingi ayah di rumah
sakit pulang
untuk menjemputku. Aku ingin melihat ayah, aku ingin berada disamping ayah.
...
Hari semakin sore, perutku dari
tadi menggerutu ingin dimasukan sesuatu. Akhirnya aku menyerah dan kembali
pulang kerumah. Suasana hening kudapati lagi disekekeliling rumahku.
Teman-temanku sepertinya belum ada yang tahu kabar yang menimpa keluargaku. Kulihat
didepan pintu rumah, masih tersisa banyak sarang madu dalam nampan. Kucolek
sedikit untuk menahan rasa lapar.
Langit jingga kini perlahan mulai
menghiasi atap dunia ini. Dari kejauhan terlihat seorang lelaki tua bersama seorang anak kecil sedang menuju
rumahku. Perasaanku biasa saja karena sepertinya aku mengenal mereka, Alif dan
ayahnya. Setibanya dirumahku, Alif langsung menunjuk sarang madu yang ada
didekatku.
“kapan
ini diambil, nak rahman?” tanya ayahnya. Lelaki itu lalu memeriksa keadaan sarang
lebah itu dan sedikit mencoleknya.
“tadi
siang pak. Kami masuk hutan berempat, terus kami cari-cari dimana ada tempat
berkumpul lebah-lebah, tapi lama sekali. Kami sampai capek dan main-main
dihutan, terus Rani hampir digigit lebah, untung kita lawan lebah itu jadinya
Rani gak digigit lebah. Tapi pas ketemu sarang lebah itu, saya langsung buat
asap terus saya naik keatas pohon. Sampai sarang lebahnya dapat. Tadi Alif ikut
juga kok...”, dengan logat daerahku, aku berusaha
menjelaskan kejadian tadi siang sejelas-jelasnya kepada ayahnya Alif dengan
berandai seperti aku menceritakan pada ayahku.
“hmm,,,
madunya manis. Harganya berapa nak?”, ternyata beliau
tertarik dengan sarang madu ini dan mau membelinya. Aku terkejut dan bingung,
mengapa ada orang yang mau membeli madu seperti ini?
“tapi,
iniu bukan punya saya saja pak, ini punya alif juga dan teman-teman yang
lain..”, jelasku karena tidak enak dengan yang lainnya.
“gak
apa-apa man, kan yang ambil dari pohonnya itu kamu. Bukannya sekarang ayahmu
sedang masuk rumah sakit? Siapa tahu uangnya bisa dipakai untuk beli obat.
Fakhri dan Rani, nanti aku yang jelaskan ke mereka”,
Alif meyakinkanku dengan senyuman. Ia memang sahabatku yang paling baik,
diantara sahabat-sahabat baikku.
“saya
bayar dua ratus ribu ya?” tawaran ayah Alif sedikit
mengagetkanku.belum pernah sebelumnya aku menghasilkan uang sampai sebesar itu.
Karena uang tersebut kuanggap besar, aku langsung menerimanya dengan senang
hati dan siapa tahu aku bisa membeli obat untuk ayah dengan uang ini. Aku
langsung mencari plastik besar yang ada didalam rumah sebagai pembungkus sarang
lebah.
“makasih
ya pak..” ,
“ya,
sama-sama, semoga ayahmu cepat sembuh ya”
Mereka berduapun
pergi meninggalkanku dengan membawa sarang lebah itu. Nampan yang tadi,
ternyata masih menyisakan madu yang meleleah dari sarangnya. Segera ku sikat
madu itu, sampai nampan itu bersih sperti telah dicuci.
Belum lama, aku
ditinggal oleh Alif dan Ayahnya. Tiba-tiba datanglah seorang lelaki tua, beliau
adalah tetanggaku yang sering kupanggil kakek Din. Rupanya beliau merupakan
suruhan ibu untuk mengantarku kerumah sakit dikota.
“mai
ta lao, ina mu waura ngena ta uma saki”, dialek dan logat
daerah beliau sangat kental karena beliau tidak bisa berbahasa Indonesia. Tanpa
berkata-kata, aku segera mengganti baju dan mengunci rumah. Kamipun berjalan
meninggalkan rumahku, dan diujung jalan sana sudah menunggu seorang lelaki yang
lebih muda dengan sepeda motornya.
Langit jingga
semakin menguasai atap bumi, kepergian kami ditemani lembayung senja yang
seakan mengerti perasaanku saat ini. Gelisah dan sedih, langit senjapun
sepertinya merasakan itu. Terlihat bahwa dari tadi ia mengeluarkan suara
gemuruh dan rintikan air kesedihan. Hingga saatnya langit senja meluapkan
emosinya ketika kami sedang menelusuri jalan beraspal ini. Kami kebasahan, tapi
tidak menyerah untuk tetap membelah hutan disepanjang jalan.
...
“Ayah..
ayah..”, aku meneteskan air mata ketika melihat ayah kini
terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Ibupun tak kuasa menahan tangis ketika
melihatku datang menampilkan raut wajah sedih. Kini yang lebih menyakitkan
lagi, ayah sedang berjuang melawan cobaan sakaratul maut.
Aku memeluk ibu,
kulihat wajah ibu yang tetap tegar walaupun air matanya terus berlinang.
Kalimat-kalimat Allah tak henti mengalir dari mulutnya mengajak ayah untuk
mengucapkan kalimat syahadat. Aku sendiri tak kuasa melihat ayah yang sedang
berjuang melawan sakaratul maut.
Detik demi detik
berlalu, Yang kuasa telah menentukan takdirnya. Ayah kini telah menghembuskan
nafas terakhirnya. Kini yang ada hanya tangisan yang memecahkan keheningan
ruangan itu. Menangisi jasad pucat yang telah tertutupi selembar kain. Memori
ingatanku mengajak aku kembali mengingat masa lalu saat bersama ayah. Hanya
hal-hal indah yang teringat di pikiranku saat itu, memori yang indah saja.
...
Esoh harinya
merupakan hari yang lebih kelam dari hari sebelumnya. Batinku berkata, “Inilah hari terakhir aku melihat wajahmu
ayah..”.
Disaat setiap
orang sibuk untuk mengurus pemakaman dan jasad ayahku. Aku mencari ketenangan
di tempat yang teduh, di bawah pohon beringin diatas bukit yang kering ini. Langitpun
menghitam, Sepertinya ia merasakan apa yang kurasakan saat ini. Sesaat kemudian
ia menangis, menumpahkan segala kegundahan hatinya hingga akhirnya ia pulih
seperti sedia kala.
Ketiga sahabatku merasa iba, dan
menyusulku disini. Kami tak saling menyapa, kami hanya terdiam menatap langit.
Aku sendiri masih merenung, mungkin seharusnya aku belajar dari langit. Dari
senyum manis yang terdapat pada pelanginya.
Terpaan angin
menyambar tubuhku
Membangunkan
tubuh yang sedih ini
Tapi, apakah kau
mengerti isi hatiku, angin?
Deras hujan
turun membasahi tubuhku
Menyadarkan
tubuh yang gundah ini
Tapi, apakah kau
mengerti isi hatiku, hujan?
Aku kira langit
sedang gelisah
Aku pikir langit
sedang marah
Dan aku ingin
menghiburmu, langit
Tapi ternyata
bukan itu yang kau rasakan
Aku tidak mengerti perasaanmu
Kau yang lebih
mengerti isi hatiku
Kau yang lebih
dulu mengajarkanku
Bangkit dari
kegundahan
Dari pelangi
yang muncul dalam senyummu
Kini, Aku
mengerti
0 comments:
Post a Comment