SELAMAT DATANG

WELCOME TO MY BLOG! berbagi ilmu & pengetahuan lewat blog ini

Tuesday 9 February 2016

Napak Tilas Denyut Kehidupan Etnis Tionghoa di (Pelosok) Jakarta Barat

Menyusuri Jejak Sejarah, Peradaban, dan Kehidupan Etnis Tionghoa di Pancoran, Glodok, Jakarta Barat

   Kali ini saya bukan mau mengucapkan Gong Xi Fat Cai atau sejenisnya. Kali ini saya mau membahas sedikit tentang sejarah, atau bisa dibilang asal usul serta kehidupan etnis cina atau yang bisa kita sebut masyarakat Tionghoa di kawasan ibukota Jakarta. Jadi sehari sebelum Tahun Baru Imlek, tepatnya 6 Februari 2016, saya mengikuti salah satu tour sejarah yang mengupas sisi kehidupan etnis Tionghoa di zaman penjajahan dulu. Seperti kata orang bijak, ilmu itu akan lebih bermanfaat jika disebarkan/diajarkan ke orang lain, maka dari itu, saya ingin bercerita sedikit (Ya sedikit saja, karena mungkin masih banyak sisi kehidupan etnis Tionghoa yang belum terkupas gitulah dibalik legendarisnya Batavia ini…) kepada anda semua. 
Semoga bisa dihayati ya... :)

       Mungkin sudah banyak yang mengetahui bahwa sejak zaman penjajahan Belanda, etnis Tionghoa sudah mulai menjamur berbagai daerah di Indonesia, terlebih di Batavia (Jakarta saat dulu kala). Hampir setiap kota di Indonesia memiliki Pecinan yang berfungsi sebagai pusat ekonomi dan perdagangan, sekaligus sebagai pusat hunian masyarakat Tionghoa. Jadi mayoritas etnis Tionghoa yang berada di Indonesia itu kebanyakan menjadi pedagang dan toko atau bangunan tempat berdagangnya sekaligus dijadikan tempat tinggalnya.

            Di Jakarta, daerah pecinan atau kawasan pecinan lebih dikenal dengan sebutan Glodok, yang termasuk dalam wilayah Jakarta Barat. Menurut beberapa sumber, nama Glodok berasal dari kata grojok-grojok yang merupakan bunyi air yang jatuh dari pancuran air. Di tempat itu dahulu kala ada semacam waduk penampungan air kali ciliwung. Orang Tionghoa menyebut “grojok” sebagai “glodok” karena sulit mengucapkan kata grojok (ya, taulah kan mereka susah bilang ‘r’). Sedangkan di Glodok sana ada semacam wilayah yang disebut Pancoran-Glodok, kata Pancoran itu berasal dari kata “Pancuran” air yang terdapat di daerah tersebut.

            Dalam acara Napak Tilas saat itu, kami serombongan melewati beberapa landmark yang ada kaitannya atau memiliki sejarah dengan etnis Tionghoa. Dengan starting point di Museum Wayang Komplek Taman Fatahillah, kami berjalan kearah utara dan membelok ke kiri, keluar dari Komplek tersebut. Setelah berjalan sekitar 10 menit, seorang “ibu-ibu” yang menjadi guide bagi rombongan kami tiba-tiba memberi aba-aba untuk berhenti, serentak seluruh anggota rombongan pun ikut berhenti. Saat itu kami sudah tiba di sebuah trotoar jalan di pinggir sebuah sungai bertembok yang cukup besar untuk ukuran Jakarta. Sang pemandu dengan suara yang lantang mulai menjelaskan sebuah kisah, kisah dibalik terbentuknya sungai itu. Rupanya sungai tersebut merupakan terusan dari sungai Ciliwung. Dulu sungai atau kali tersebut dinamakan Kali Besar karena memang kalinya cukup lebar. Jika dilihat, bentuk sungainya lurus memanjang sampai bermuara ke Teluk Jakarta. Namun sebenarnya tidak, dulu keadaan kali itu tidak selurus yang sekarang. 

        Dulu pada masa pemerintahan VOC ada sebuah proyek untuk membentuk kali Ciliwung tersebut mulai awalnya berkelok-kelok untuk diluruskan. Mengapa? Sebab kali itu digunakan sebagai jalur transportasi air, sehingga kapal-kapal dagang akan lebih mudah melewatinya apabila kalinya membentang lurus. Akibatnya bisa kita lihat sekarang sisa-sisa beton atau tembok yang membentuk sungai tersebut. Adanya proyek ini juga menyebabkan dibangunnya sebuah jembatan yang menghubungkan antara sisi barat dan timur yang dapat membuka dan menutup saat ada kapal yang melewati kali tersebut. Jembata tersebut lebih dikenal dengan Jembatan Kota Intan.

       Perlu diketahui juga bahwa sepanjang kali besar tersebut merupakan komplek kantor perdagangan ekspor-impor VOC. Di sebelah barat kali besar terdapat sebuah bangunan yang sangat kental akan etnis Tionghoanya, tertulis di depan bangunannya “TOKO MERAH”. Toko Merah merupakan sebuah bangunan, yang dulunya merupakan rumah orang Tionghoa. Sekitar tahun 1932, rumah tersebut ditempati oleh seorang Gubernur Jendral Von Imhoff yang digunakan sebagai tempat tinggal. Konon katanya, bangunan yang didominasi warna merah ini memiliki ruang-ruang yang simetris. Misalnya jika disisi kiri terdapat 2 kamar dan 1 tangga, maka disisi lain pun juga begitu. Kesimetrisannya terlihat pula jika kita lihat dari luar, ditambah perpaduan antara gaya bangunan tionghoa dan eropa. Namun sayangnya bangunan yang terletak di Jl. Kali Besar ini terlihat seperti kurang terawat. Jika ingin masuk kedalam, tidak boleh sembarangan, harus izin dulu kepada pengelola Kota Tua. Bangunan ini sempat dijadikan tempat akademi militer setelah pemilik sebelumnya meninggal dunia. Warna merah sendiri pada bangunan ini menyimbolkan etnis tionghoa yang berarti keberuntungan atau keselamatan.
Kali Besar atau Sungai Ciliwung
Toko Merah
          Perjalanan pun berlanjut ke arah selatan. Kami berhenti disebuah jalan yang kata pemandu tidak kalah legendarisnya, jalan tersebut bernama Jalan Pintu Kecil. Jalan Pintu Kecil juga merupakan pusat perniagaan. Kenapa dinamakan Jalan Pintu Kecil, karena jalan ini merupakan jalan alternatif untuk menuju tembok kota (saya belum tahu tembok kota yang dimaksudkan seperti apa). Di sepanjang jalan ini terdapat toko-toko yang menjual barang-barang tekstil dan dulunya juga merupakan kompleks tempat tinggal untuk etnis Tionghoa, mungkin sekarang masih ya.
             
           Perjalanan kembali dilanjutkan ke pelosok jalan yang lebih kecil tetapi masih dalam kawasan perniagaan. Semakin kedalam semakin mencirikan bahwa banyak sekali etnis Tionghoa yang tinggal disini dulunya. Dan sepertinya sekarangpun masih banyak, karena tak jarang saya melihat orang Tionghoa duduk bersantai atau mondar-mandir di daerah situ.
               
          Etnis Tionghoa bisa dikatakan memiliki sejarah hidup yang kelam pada masa penjajahan Belanda. Asal mulanya, ketika Portugis, Spanyol, dan akhirnya Belanda silih berganti menduduki Indonesia karena kekayaan rempah-rempahnya, penduduk China pun mengetahui kabar tentang kemakmuran negara Indonesia. Lalu bermigrasilah orang-orang dari China ke Indonesia, yang mana sebagian besar dari mereka datang untuk berdagang atau mencari pekerjaan lain. Hal ini masih diterima baik oleh pemerintah Belanda atau VOC pada saat itu. Namun lama kelamaan, orang China yang bermigrasi semakin membludak. Di Batavia jumlah etnis China atau Tionghoa yang berdatangan mencapai lebih dari 80 ribu jiwa. Akibatnya Batavia tidak mampu menampung semua orang China untuk dijadikan sebagai pekerja hingga banyak dari mereka yang menjadi gelandangan. Kemudian terjadi krisis gula yang menyebabkan keadaan semakin terpuruk dan krimiminalitas meningkat. Oleh adanya itu, tepatnya pada 1740 pemerintah Belanda atau VOC mengungsikan sebagian warga Tionghoa untuk dipindahkan ke Srilanka yang merupakan daerah jajahan Belanda juga pada masa itu, dengan iming-iming akan dipekerjakan disana. 

        Namun entah kabar dari mana, etnis Tionghoa yang masih di Indonesia mengetahui bahwa saudara-saudaranya yang dikirim melalui kapal laut itu tidak pernah sampai ke Srilanka. Dikatakan bahwa saudara mereka dibuang ke tengah lautan oleh para awak kapal tersebut. Dengan adanya kabar burung tersebut, etnis Tionghoa yang berada di Indonesia mengamuk, dan pada 8 Oktober 1740 mereka membunuh 50 prajurit Belanda yang saat itu sedang berkeliaran bebas di jalanan. Mengetahui hal tersebut, pihak Belanda pun marah dan pada 9 Oktober 1740 menyatakan pembantaian masal terhadap warga Tionghoa. Tidak peduli pria, wanita, orang tua, ataupun bayi, jika terlihat sebagai etnis Tionghoa maka akan segera dibunuh oleh prajurit Belanda. Ketika pembantaian masal berakhir, etnis Tionghoa yang sebelumnya ditolak keberadaannya, kini mulai kembali ke Batavia. Namun pemerintah Belanda membuat lokalisasi kawasan untuk etnis Tionghoa untuk pembatasan ruang geraknya, kawasan tersebut yang sampai saat ini bernama Pecinan-Glodok.

...

       Di sebuah jalan yang kecil yang sempat menjadi nadi perniagaan itu, kami menemukan sebuah rumah antik bekas etnis Tionghoa. Di cat kehijauan namun masih mencirikan kekhasan Chinanya. Ada pula rumah tusuk sate yang melegenda, masih berdiri kokoh meskipun ada kecatatan bangunan disana-sini. Rumah tusuk sate merupakan istilah bagi rumah yang terletak tepat di depan persimpangan jalan. Orang Tionghoa yang mempercayai mitos menganggap bahwa posisi rumah tersebut sangat tidak menguntungkan bagi kehidupan ekonomi maupun perniagaan. Mereka menempatkan guci yang direbahkan menghadap jalan yang dipercaya sebagai penangkal hal tersebut, agar ekonomi atau perdagangan mereka baik-baik saja (Sangat menarik ya…). Yang seperti inilah yang harus pemerintah dan warga sekitar jaga, jangan sampai rapuh apalagi musnah termakan zaman. Kita harus lebih mendesak pemerintah untuk terus melakukan perbaikan, penjagaan, pemeliharaan, atau semacam revitalisasi bangunan-bangunan tua di sekitar kita karena ‘mereka’lah satu-satunya saksi bisu perkembangan sejarah di Indonesia.

       Berlanjut ke tempat lain, setelah menyusuri jalan-jalan kecil, sampailah kami di sebuah jalan yang depannya ada sebuah parit besar atau kanal. Kali tersebut diberi nama Kali Jelangkeng oleh orang sekitar. Kali Jelangkeng merupakan anakan dari Kali Besar atau Ciliwung. Kali ini tidak terbentuk secara alami, tetapi dibangun saat pemerintah VOC sebagai sistem pengairan serta pengalihan air kali Ciliwung. Seperti Kali Besar, kali ini pada sisi pinggirnya diratakan dengan beton-beton. Jalan yang terdapat disamping kali tersebut dinamakan pula Jalan Jelangkeng. Di Jalan Jelangkeng terdapat sebuah rumah Kapitan China yang sekarang menjadi lokasi SMPN 32. Namun keberadaan rumahnya masih ada dibagian tengah sekolah cuma katanya kurang terawat.

          Lanjut ke Vihara Budhi-Dharma, hmm.. Vihara? Mungkin lebih tepatnya Klenteng. Pemerintah sering menyamakan Klenteng dan Vihara. Kalau Klenteng punyanya orang Tionghoa, kalau Vihara itu punyanya umat Budha. Klenteng pertama yang didatangi oleh rombongan yaitu Yayasan Wihara Budhi_Dharma di Jalan Perniagaan. Kali itu merupakan kali pertama saya masuk kedalam yang namanya Vihara/Klenteng. Suasananya membuat saya antusias ingin melihat apa saja yang ada didalamnya. Karena saat itu sedang dalam persiapan imlek, lilin-lilinpun tersedia di berbagai sudut ruangan, siap untuk dinyalakan. Namun ukuran klenteng tersebut tergolong kecil sehingga kapasitas orang yang berdoa dalam satu waktu menjadi terbatas. Saya pun tidak dapat bertahan lama didalam karena asap dari sejenis serbuk-serbukan yang sengaja di bakar dan dari benda seperti stick kayu yang ujungnya dibakar seperti dupa menyeruak keseluruh penjuru ruangan dalam klenteng tersebut. Kemudian di depan klenteng atau wihara (duh, saya sendiri bingung menyebutnya) di seberangan jalan perniagaan terdapat bangunan tua yang juga merupakan peninggalan dari etnis tionghoa, Toko Obat Lay An Tong namanya. Kurang tahu apakah masih digunakan atau tidak karena pada saat itu kondisinya lagi tutup, tetapi yang kami dengar sudah tidak dijadikan toko obat lagi dan mungkin digunakan untuk kegiatan lain. Kondisi bangunannya masih tetap terjaga, terlihat dari arsitektur dan kontur bangunan yang masih menunjukkan sisi historisnya.
Toko Obat Lay An Tong
         Sambil berjalanan, kami menemukan lagi sebuah klenteng, masih di jalan Perniagaan. Klenteng Lamceng atau Vihara Ariya Marga ini letaknya agak kedalam. Klenteng ini memiliki dewi yang dijuluki dewi perniagaan. Ibu guide menjelaskan bahwa setiap klenteng memiliki dewa/dewi masing-masing. Kemudian satu cerita yang tak ketinggalan, kalau di jalan perniagaan ini dulunya ada semacam budaya yang rutin dilakukan oleh keluarga tionghoa, budaya tersebut dinamai dengan Pat Te Koan. Budaya Pat Te Koan asal muasalnya merupakan 8 teko (poci) yang setiap hari disediakan oleh istri seorang kapitan cina yang berjiwa sosial untuk para pejalan kaki yang kelelahan atau kehausan saat melewati jalan perniagaan. Jadi setiap hari hanya ada 8 poci, 8 karena angka tersebut dianggap membawa hoki (keberuntungan). Untuk sekarang ini budaya tersebut sudah tidak ada. Namun katanya akan digelar lagi untuk menghormati budaya tersebut, rencananya 8 teko/poci akan disediakan didepan sebuah apotik yang masih berada di jalan perniagaan juga. 

         Oke sebenarnya selama di perjalanan dari tadi hujan turun meskipun tak terlalu deras. Namun melihat semangat ibu guide tersebut untuk menyampaikan berbagai sejarah yang ia ketahui juga membuat saya lebih semangat ingin mengetahui sejarah tionghoa, lagi dan lagi. Anggota rombongan yang lain pun tampaknya menikmati. Hujan yang ditemani awan mendung kala itu tidak menyurutkan langkah kami. Kemudian kami melanjutkan perjalanan, menuju satu landmark lagi di jalan perniagaan. Akhirnya kami sampai pada sebuah gedung sekolah yang merangkap, mulai dari SD, SMP, dan SMA, biasanya orang lebih kenal SMA 19. Dari luar tak tampak istimewa, hanya berupa bangunan sekolah biasa. Namun ternyata, sekolahan ini dulunya juga merupakan saksi sejarah. Lokasi sekolah tersebut digunakan sebagai tempat berdirinya organisasi modern pertama oleh oran tionghoa di Batavia, bernama organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK). Berdiri pada tahun 1900, organisasi ini merupakan cikal bakal atau inspirasi organisasi kaum pemuda pribumi, Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Di lokasi tersebut dulunya digunakan sebagai tempat pertemuan orang tionghoa untuk membahas yang berkenaan dengan hak asasi mereka dan sebagainya karena saat itu Batavia dikuasai oleh Hindia Belanda, karena dulu etnis tionghoa sempat ditolak keberadaannya.


       Keluar dari lingkungan sekolah, perjalanan menyusuri jalan perniagaan semakin seru. Selanjutnya kami menemukan sebuah rumah kental sekali dengan ke-china-annya. Rumah tersebut merupakan peninggalan dari keluarga Souw (kakak-beradik, salah satunya Souw Siauw Tjong dan Souw Siauw Keng). Rumah keluarga Souw memperlihatkan bahwa mereka merupakan keluarga yang kaya pada waktu itu, terlihat dari bangunan yang besar dan memanjang.


Rumah Keluarga Souw
      Jika dilihat dari atas, rumahnya terdiri dari 4 atap khas tionghoa, dimana atap pertama atau atap paling depan adalah atap terkecil, dan semakin kebelakang semakin besar dan lebih tinggi. Dahulu jarang ada yang orang tionghoa yang memiliki rumah sebesar itu. Namun rumah keluarga Souw juga dilengkapi dengan kebun kecil yang terletak dibagian paling belakang. Sangat sejahtera ya keluarga ini.

     Selanjutnya memasuki sebuah klenteng. Klenteng Toasebio terletak di jalan kemenangan, merupakan klenteng Tertua saat ini. Klenteng ini dari luar tampak kecil, tetapi didalamnya terdapat ruangan yang cukup besar. Kala itu orang-orang tionghoa mulai berdatangan, menandakan perayaan imlek sebentar lagi akan dimulai. Rombongan kami yang sebagian besar muslim diperbolehkan masuk, melihat-lihat, berfoto-foto, dan sebagainya. 
Lilin-lilin di Klenteng Toasebio
          Orang-orang tionghoa ada yang sudah mulai melakukan upacara berdoa, mereka melakukannya sendiri-sendiri. Lilin-lilin merah dinyalakan, baru kali ini saya melihat lilin segede batang pohon. Setiap lilin seperti ada yang memiliki, sudah ada namanya masing-masing. Kata orang yang punya klenteng, lilin-lilin disini merupakan sumbangan dari penganut tionghoa yang akan bersembahyang di klenteng Toasebio itu. Semakin besar mungkin semakin berkah dan mendatangkan hoki kali ya. Disana saya mengamati detil-detil hiasan dinding, pernak-pernik, dupa-dupa maupun patung dewa-dewa yang memenuhi seisi ruangan, semua didominasi warna merah. Ditambah lagi orang tionghoa yang berdoa. Pertama kalinya dalam sejarah hidup, melihat langsung tata cara mereka sembahyang. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan.

         Di jalan kemenangan, berdiri pula sebuah gereja bergaya China yang bernama Gereja Katolik St. Maria de Fatima. Saat kami sampai disana, rupanya ibadah keagamaan sedang berlangsung sehingga kami tidak bisa masuk kedalam, tetapi kami disambut salah satu tokoh agama atau pasteur disana. Beliau menyambut dengan baik kedatangan kami. Seorang laki-laki bertugas membunyikan lonceng besar di depan gereja, tanda ibadah segera dimulai. Sedikit terkesima mendengar bunyi lonceng yang asing di telinga saya.


Foto bersama di depan Gereja St. Maria de Fatima (Courtesy of Mas WG)
      Tak jauh dari gereja, kami sampailah di sebuah klenteng lagi. Klenteng yang sangat ramai, lebih ramai dari klenteng-klenteng sebelumnya. Klenteng atau Vihara Dharma Bhakti (di gerbang utamanya tertulis Wihara). Vihara yang juga disebut dengan klenteng Jin de Yuan ini dulunya merupakan vihara tertua, lebih tua dari klenteng Toasebio karena dibangun pada tahun 1650 oleh seorang tionghoa, Kwee Hoen. Namun, pembantaian masal etnis tionghoa pada 1740 menyebabkan vihara ini menjadi salah satu korban. Vihara ini terbakar dan dibangun kembali oleh orang tionghoa. Akibat kejadian itu, vihara atau klenteng Dharma Bhakti bukan lagi menjadi yang tertua, melainkan Toasebio menggantikan posisinya. Di tahun 2015, klenteng ini juga pernah terbakar lagi. Bangunan utama klenteng yang terbakar sampai sekarang belum direnovasi, rencananya akan segera direnovasi oleh Ahok, Gubernur DKI. Penyebab kebakaran klenteng berasl dari api lilin yang belum dimatikan, ketika itu sudah tidak ada orang yang beribadah namun lilin lupa dimatikan, jika tidak salah kejadiannya juga saat perayaan imlek. 

       Tak kalah meriahnya dengan klenteng Toasebio, bahkan klenteng ini lebih meriah dengan pernak-pernik merah dan lilin-lilin yang lebih besar dari yang saya lihat sebelum-sebelumnya. Orang-orang tionghoa (dan mungkin juga klenteng ini digunakan oleh orang Budha) berdatangan dan melakukan sembahyang dengan khidmat. Sungguh seperti Idul Ftri bagi umat islam, perayaan Imlek merupakan sebuah hari kegembiraan bagi orang tionghoa saat itu.

           Namun perayaan Imlek, baik di klenteng Toasebio maupun Jin de Yuan mengundang tamu lain yang sepertinya dari tahun ke tahun sudah hafal gelagat kegiatan dari pengurus klenteng. Orang-orang yang bisa dikatakan kurang mampu, baik pemulung maupun laki-laki wanita tua renta sudah berkumpul sejak awal untuk menerima sedekah dari klenteng. Kejadian ini tiap tahun terjadi dan sering saya lihat di televise, tetapi baru kali ini saya melihatnya dengan mata kepala sendiri. Ratusan orang, apalagi di klenteng Jin de Yuan memadati area halaman depan klenteng. Mereka duduk ditanah beralaskan koran, menunggu detik-detik dibagikannya sedekah atau buah tanga dari klenteng. Lebih parah di Toasebio, di bagian dalam klenteng berkumpul polisi-polisi yang saat itu bertugas mengamankan perayaan imlek disebuah meja, bercanda tawa ditemani makanan mewah seperti donat J-C*, martabak, dan lainnya. Seperti tidak memperdulikan mereka, sekumpulan orang-orang yang duduk dibawah di bagian teras klenteng, menunggu hadiah serta buah tangan dari klenteng.

       Terlihat miris, tetapi ya mau gimana lagi. Mungkin dari situlah sebagian dari rejeki mereka. Semoga apa yang diberikan oleh klenteng atau penyumbangnya bisa menjadi barokah dihadapan Allah swt dan bermanfaat bagi orang-orang yang menerimanya.

       Singkat cerita, ketika sudah puas mengelilingi klenteng terakhir, kami serombongan berfoto bersama. Rupanya klenteng tersebut merupakan destinasi terakhir dari perjalanan kami di hari itu. Sesaat seperti muncul rasa kekeluargaan diantara kami, karena waktu yang memisahkan kita memberi kesan yang takkan terlupakan. Selanjutnya rombongan kembali menuju titik awal di Taman Fatahillah atau diperbolehkan pulang masing-masing. Saat itu hari sudah gelap, saya bergegas mencari sebuah masjid untuk menunaikan salat maghrib. Sebelumnya saya belum pernah cerita ya kalau di rombongan ini saya akrab dengan salah satu mas-mas, namanya mas Ferdy. Dari mukanya saya mengira dia orang tionghoa, makannya setiap masuk klenteng saya sesekali memperhatikannya. Ketika diperjalanan mencari masjid, saya sedikit kaget, ternyata masnya juga sama-sama mau nyari masjid, masnya juga muslim to hehehe. 
 
Foto Bareng di Klenteng Jin de Yuan a.k.a Wihara Dharma Bhakti
    Mengutip dari cerita perjalanan saya yang sebelum-sebelumnya, bahwa pengalaman merupakan pembelajaran hidup yang nyata dan berharga. Dimanapun, kapanpun, dan kepada siapapun, kita harus senantiasa belajar dan menghormati ilmu-ilmu yang diberikan. Perjalanan kali ini membuat saya semakin tahu bahwa Indonesia itu beragam sekali. Mempelajari budaya atau karakteristik mereka yang bukan dari golongan kita adalah suatu keunikan yang niscaya tak mudah lekang di memori. Semoga bisa menjadi pemacu anda untuk mau mempelajari sejarah dan budaya dari bangsa kita. 
Salam History! 
#Let’s Make A history, saatnya pemuda yang menciptakan sejarah :) 

Referensi :
Pengalaman Pribadi, Sinopsis Tour Jelajah Kota Toea 2016 oleh Kartum Setiawan, www.jakarta.go.id, komunitashistoria.com, beserta sumber lainnya. 
Gambar :
Koleksi Pribadi, Mas Wege & Kartum KJB, Mbah Google

0 comments:

Post a Comment