SELAMAT DATANG

WELCOME TO MY BLOG! berbagi ilmu & pengetahuan lewat blog ini

Saturday, 13 December 2014

Senandung Perjalanan Kelam


Perjalanan Estafet Melintasi Jawa dan Nusa Tenggara
oleh : Ayub A. Rahman

Ahh.. nikmatnya.. setelah hampir setahun lamanya, akhirnya saya bisa menikmati hembusan angin yang melambai khas dari kampung halaman tercinta. Di saung yang terletak di tengah-tengah pematang sawah, tak jauh dari rumah, dengan tenangnya saya membaca buku tanpa ada beban pikiran sedikitpun. Suatu kenikmatan yang saya rindukan setelah berlelah lelah menuntut ilmu di kota metropolitan, Jakarta.
Ding.. dong.... alarm handphone membangunkan saya dari mimpi indah yang saya kira itu nyata.Rupanya kerinduan saya akan suasana kampung halaman sudah tak terbendung lagi. Ya, karena hari ini saya akan melakukan suatu perjalanan yang sangat dinantikan. Untuk pertama kalinya, saya memilih melakukan estafet secara sendirian dalam perjalanan ke kampung halaman saya di Nusa Tenggara Barat. Ya, sendiri, tak ada kawan atapun sahabat yang menemani. Perjalanan akan saya lakukan estafet dari kereta api berganti ke kapal fery, bus, angkot, naik fery lagi, dan seterusnya.
Rasanya campur aduk antara bahagia, takut, khawatir, dan kesepian. Tapi tak apalah, saya coba menguatkan diri. Selama saya masih berdo’a dan dengan niatan yang lurus, insya’Allah Tuhan akan senantiasa melindungi. Ayah ibu, tunggu aku dirumah.
Perjalan Perdana by Kereta Api
Sabtu, 13 September 2014, berulang kali saya membuka tas kecil untuk memastikan tiket kereta masih ada. Empat lembar tiket pulang pergi itu saya selipkan diantara brosur PT.KAI yang saya dapat dari customer service stasiun di Pasar Senen.
Proooommppp... tepat pukul 10.30 WIB kereta Gaya Baru Malam meninggalkan stasiun Jakarta Kota, pengalaman pertama kalinya menaiki kereta. Sungguh waktu itu saya sangat senang sekali.Tertegun, diam, melamun hanya itu yang saya lakukan ketika menikmati perjalanan. Tidakkah anda merasa kesepian ketika melakukan perjalanan sendirian?. Kalau kata ayah Ebiet G. Ade, “Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan, sayang engkau tak duduk disampingku kawan”.Ya, kurang lebih sepenggal syair itu begitu mewakilkan perasaan saya kala itu.
Namun jiwa seorang petualang bagi saya tak mengenal rasa kesepian. Selama masih kita temui pengalaman yang menyenangkan, itulah teman terbaik disaat perjalanan.
Sudah berjam-jam lamanya. Kantung mata yang ingin terpejam seakan tak dapat terbendung lagi, namun rasa was-was selalu menyertai. Saya takut tempat tujuan saya akan terlewat. Untungnya seorang wanita tua yang duduk didepan saya mengajak saya berbicara.
Siang kini menjelma menjadi malam, dinginnya AC dalam gerbong kereta kini mengusik ketenangan batin. Dari luar kacasisi sebelah bangku rupanya sudah terlihat sebuah bangunan yang ramai dipenuhi orang-orang yang sepertinya dari tadi sudah menunggu. Stasiun, kini saya telah tiba di stasiun Lempuyangan Yogyakarta.
Yogyakarta, Cinta Satu Malam
“Mas, kalau mau jalan-jalan ke Malioboro aja.., “
Hatiku tersentak ketika mendengar pernyataan itu. Seorang bapak, marbot salah satu masjid di dekat stasiun Lempuyangan yang baru saya kenal, memberi arahan kepada saya untuk sekedar menikmati hiruk pikuk kota Yogyakarta di malam hari.
“oh, kalau mau kesana lewat mana ya pak?”
“nanti dari sini lurus aja, perempatan belok kiri, terus lurus, bla bla bla...”
Jujur saja tak sampai terpikirkan oleh saya untuk menjelajahi kota pelajar ini dalam satu malam dan sendirian, karena ini adalah pertama kalinya saya menginjakan kaki disini. Hati saya berdegub kencang apalagi ketika mendengar kata Malioboro. Ingin rasanya melihat sebagian kecil sudut Yogyakarta yang katanya indah itu.
Untungnya bapak yang saya temui itu baik sekali, setelah menjama’kan shalat maghrib dan isya’. Saya langsung menitipkan tas carier dan pergi ke Malioboro tanpa membawa beban yang berat. Sungguh pertolongan Allah itu ada dimana-mana.
...
Kerlingan lampu-lampu yang temaram menambah suasana romantis di sebuah jalan lurus di pusat kota Yogyakarta. Disana sini orang-orang ramai melakukan hal yang mereka sukai. Makan malam di warung lesehan, menonton wayang di dinas pariwisata, beli batik di toko kerajinan atau hanya sekedar berfoto di papan nama jalan Malioboro. Sungguh tempat ini memberi kesan baru yang belum pernah saya dapatkan sebelumnya.
Jalan lurus yang terbentang dari Stasiun Tugu sampai keraton Yogyakarta itu seakan-akan tak henti menawarkan kesenangan duniawi. Dari pusat pertokoan, saya berjalan ke utara untuk  sekedar melihat papan nama jalan yang tertulis “Jl. Malioboro”.
Tak hanya itu, kemudian saya berputar arah ke selatan. Ternyata disana lebih ramai lagi, saya menemukan sebuah bangunan tua nan estetis yang dinamakan Benteng Vredeburg. Disebelahnya ada sebuah lapangan yang ditengah-tengahnya berdiri sebuah monumen “Monumen Serangan Umum Satu Maret”. Tempat itu menjadi tempat favorit bagi anak-anak muda yang memadu kasih dengan pasangannya ataupun yang sekedar have fun dengan komunitas-komunitasnya sendiri. 

Monumen Serangan Umum Satu Maret
yang sepertinya sedang direnovasi


Di sepanjang jalan, tak jarang saya menemukan jiwa-jiwa kreatif masyarakat Yogyakarta. Mengamen untuk mendapatkan uang dilakukan dengan kreatifitas yang tanpa batas, alunan nada dari petikan gitar membuat jiwa saya semakin bersemangat menikmati malam itu. Tak ketinggalan mas-mas dan mbak-mbak yang berperan sebagai costplay, ada yang menjadi hantu, spongebob, power ranger, dan masih banyak lagi. Sungguh, kota ini sangat hidup!
Tapi satu tempat yang membuat saya ingin sekali melihatnya, Keraton Yogyakarta. Sayang sekali tidak bisa masuk kedalamnya.
Malam semakin larut, waktu sudah menunjukan pukul setengah duabelas malam. Saya harus segera kembali ke Masjid tadi. Pikiran saya, di masjid itu menyediakan tempat untuk tidur atau beristirahat. Tapi nyatanya setelah saya sampai disana, pintunya sudah terkunci dan akhirnya saya harus mencari tempat tidur diluar. Sumpah, malam itu saya bingung mau tidur dimana. Mau cari penginapan?, Saya sangat menyayangkan uang dalam kantong dipakai demi tidur diatas kasur.
Saya coba masuk kembali kedalam stasiun tetapi security melakukan sterilisasi didalam stasiun. Akhirnya saya menuju ke pertokoan maupun kios-kios yang berada diseberang stasiun. Disalah satu toko saya melihat ada sebuah tempat yang lumayan enak dijadikan tempat tidur. Tidur di emperan toko? Siapa takut!. Sayapun memberanikan diri, demi melepas lelah setelah mengumpulkan pengalaman seharian. Tapi rasanya mata ini susah terpejam, pikiran bercampur aduk antara ketakutan dan kerinduan suasana kampung halaman. Ya Allah lindungi hambamu.
Dari Gerbong Pindah ke Kapal
Pagi yang ceria kini menyambut dengan suka cita. Setelah mengambil tas carier dan berpamitan dengan pak marbot masjid itu, saya segera masuk kembali ke stasiun karena jadwal pemberangkatan kereta saya yang selanjutnya adalah pukul 07.05 pagi.
Perjalanan yang ditempuh akan lebih lama, diperkirakan kereta akan tiba sekitar pukul 8 malam di ujung timur pulau Jawa, Banyuwangi. Saya kali ini lebih banyak tertidur pulas karena tak takut lagi tujuan akhir saya terlewati. 
Namun akhirnya kereta sampai 1 jam lebih lambat dari jadwal yang ditentukan. Ketika KA Sri Tanjung yang saya tumpangi berhenti di stasiun akhir, stasiun Banyuwangi Baru, waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam. Ada satu cerita ketika saya hendak balik dari kampung ke Jakarta. Saat tiba di stasiun Banyuwangi Baru (rencananya akan ke Malang), waktu menunjukan pukul 1 malam. Sementara jadwal keberangkatan yang ada di tiket adalah jam 5 shubuh. Saya melihat disepanjang koridor stasiun  sudah ada banyak orang yang tidur tergeletak seperti korban bencana alam. Rupanya mereka adalah fans dari klub sepakbola kebanggaan Banyuwangi - entah apa namanya - yang akan bertanding di Jogja. Karena pemberangkatan keretanya masih beberapa jam lagi, akhirnya saya putuskan untuk ikut beristirahat di lantai koridor stasiun itu juga. Sedih.
Dengan mengikuti petunjuk arah yang tertera di jalan, saya mencoba mencari suatu tempat untuk melakukan estafet selanjutnya. Setelah berjalan sekitar 15 menit, tibalah saya di sebuah tempat yang sudah tak asing lagi. Deru ombak mulai menyapa, rasanya lautan dan semesta menyambut kehadiran saya kala itu. Dengan tiket seharga Rp.6.500,00 bersama kapal fery yang saya tumpangi, saya meninggalkan pelabuhan Ketapang, Banyuwangi.
Sekitar 45 menit lamanya saya bersama penumpang lainnya mengarungi selat Bali, cukup lama karena ombak sedang kencang saat itu. Namun kalau anda lihat di peta, letak pulau Bali dan Jawa seperti tidak terpisahkan karena memang dekat sekali.
Rupanya sayup-sayup cahaya temaram dari pulau Jawa masih bisa terlihat dari pelabuhan Gilimanuk.Saya sedikit takjub, ketika melihat waktu di handphone saya bertambah cepat satu jam. Ternyata setingannya sudah otomatis, mengindikasikan bahwa saya telah melakukan perpindahan dari daerah WIB ke WITA.
Semua penumpang turun dari fery menuju pelabuhan Gilimanuk. Ada yang tak biasa di pelabuhan ini, mungkin bagi anda yang belum pernah ke Bali. Setiap orang baik pejalan kaki maupun didalam kendaraan yang datang dari pulau Jawa, wajib memeriksakan KTPnya ke petugas yang standbydi pintu masuk pelabuhan. Tujuannya apa ya? Untuk mencegah adanya teroris? Atau mengingatkan masyarakat agar selalu membawa KTP?, saya kira tidak. Pengalaman setahun yang lalu ketika saya mudik menggunakan bus, saya sempat tertahan oleh petugas-petugas itu. Saat itu saya belum memiliki KTP karena harus ngurus di kampung, namun karena dituntut mengeluarkan identitas, saya keluarkan kartu mahasiswa saya. Tapi yang terjadi, KTM saya ditolak,
“dek, biar gak susah ngurus besok pagi, kasih aja dua puluh ribu untuk biaya administrasi”
Apa? “Kan KTP saya belum dibuat pak, kenapa harus bayar?”, ucap saya sedikit membela. Namun petugas itu tetap ngotot dan sayapun akhirnya mengeluarkan uang dua puluh ribu perak dari saku.
Sumpah, menjengkelkan, tapi apadaya. Inilah secuil birokrasi di Indonesia. Semoga uang saya tadi masuk dalam kas pajak daerah ya pak.
Selamat Berjumpa Kembali, Bali!
“Helo, Bali? How are you?”, lama kita tak berjumpa.
Satu kalimat itu muncul dibenak saya ketika melangkahkan kaki keluar dari gerbang pelabuhan Gilimanuk. Tak jauh dari sana, sekitar 50 meter dari pelabuhan terdapat terminal Gilimanuk. Aroma khas dupa Bali mulai terasa disini. Saya bergegas mencari bus yang nantinya akan menghantarkan saya sampai ke pelabuhan padang bai. Namun ternyata, saya sedikit sial malam itu. Rupanya belum ada bus yang berangkat. Biasanya bus pertama dijadwalkan berangkat sekitar jam 1 malam. Saya melihat jam tangan masih menunjukan pukul setengah 12 malam. Mau gak mau, anjing-anjing liar yang ada disekitaran terminal itu harus menemani saya malam itu.
Duduk selonjoran dikoridor terminal membuat saya terkesan seperti gembel. Ingin rasanya tertiudr, tapi sangat takut, takut, beberapa orang yang kebetulan ada diterminal itu tampaknya sedang mengawasiku.
Terminal Gilimanuk, sepi...
Bus melaju dengan kencang hingga saya tak sadar bus yang bertuliskan “Gilimanuk – Padang Bay” itu sudah mulai menurunkan semua penumpangnya. Hari sudah mulai terang, pelabuhan Padang Bay sudah didepan mata. Saya kebingungan ketika mencari loket untuk membeli tiket fery.
“Ah, sepertinya sepi, masuk saja..”
Wow, luar biasa bagi saya karena bisa masuk tanpa harus membayar tiket. Namun ternyata dipersimpangan jalan kedermaga, ada seorang bapak yang berjaga.
“ selamat pagi mas, ABK ya?”
“engg... Bukan pak,,”,
“Tiketnya mana?”,
“engg... tadi saya mau beli tapi loketnya kayaknya tutup pak”,
“yaudah sekarang bayar sama saya, empat puluh ribu aja”,
“iya pak,”, saya merogoh isi kantongkemudian langsung pergi menuju dermaga.
Fiuhh.. untung saja. Hati saya sudah berdebar, kira-kira saya mau diapakan ini. Meskipun gak jadi backpacker gratisan, Alhamdulillah harga tiket yang saya beli menjadi lebih murah lima ribu karena aslinya seharga Rp.45.000,00.

Potret pelabuhan padang bay Bali, dari atas fery
Tanah Sasambo, NTB
Perut yang mual daritadi seakan ingin mengeluarkan seluruh isinya karena ikut terombang ambing fery selama lima jam di selat lombok. Untuk menghibur diri, sengaja saya melayangkan pikiran ke suasana kampung halaman yang sudah dinanti nanti. Ah, rasa rindu itu sudah tak terbendung lagi.
Tak lama kemudian, bunyi sirine khas kapal fery membuyarkan lamunanku, tanda fery akan segera bersandar di pelabuhan. Tadaaa... Welcome to West Nusa Tenggara, Selamat datang di Bumi Sasambo. Sasambo adalah julukan dari Provinsi NTB yang merupakan singkatan dari nama-nama suku yang ada disana, suku Sasak, Samawa, dan Mbojo.
Untungnya sebelum sampai dipelabuhan, saya sudah janjian dengan seorang kerabat agar menjemput saya disini, lumayanlah untuk menghemat uang. Sementara di Lombok saya mampir sejenak kerumah kakak saya dan tinggal disana sehari, esoknya saya memulai perjalanan lagi ke Dompu, kampung halaman saya.
...
Petualangan saya pun berlanjut terus kearah timur. Jarak yang harus ditempuh dari kota Mataram ke Dompu sekitar 390 km. Kalau mau yang praktis, bisa membeli tiket bis di terminal mandalika yang harganya 200ribu di hari biasa, sudah termasuk makan sekali dan tiket fery. Namun kalau anda mau melakukan trip seperti saya tentunya akan lebih murah, tetapi harus ada satu hal yang ada pada diri anda, Nekad!.
Pertama, untuk sampai ke pelabuhan kayangan, kita bisa menumpang kendaraan sejenis angkot yang ukurannya sedikit lebih besar. Kendaraan ini bisa kita temui di dekat terminal mandalika, Mataram. Awalnya saya tidak tahu berapa ongkosnya, namun setelah bertanya ke orang lain, ongkosnya sekitar dua puluh hingga tiga puluh ribu sesuai dengan supir angkot yang kita tumpangi.
Kendaraan ini terasa sangat sumpek, tas carier yang saya bawa menambah sesak ruang yang tersedia. Tapi tak apalah, bagi anda yang backpacker sejati tentunya hal ini tak menjadi masalah bagi anda. Pun di perjalanan anda akan disuguhi pemandangan pulau Lombok yang khas dengan pematang sawahnya dan gunung Rinjani yang menjulang tinggi disebelah utara, saya sengaja memilih kursi dipinggir  jendela agar bisa menikmati itu semua. Sungguh saat itu merupakan satu pengalaman yang menakjubkan.
Sekitar tiga jam lamanya, akhirnya sampai juga di sebuah pasar. Tiba-tiba angkotnya berhenti.
“dek, saya ngantarin sampai disini saja. Kalau mau ke kayangan naik ojek saja ya”
“oh, oke pak. Ojeknya bayar berapa ya, pak?”
“oh, ndak usah bayar. Sudah saya bayarin”
Alhamdulillah, rupanya dua puluh lima ribu yang kubayar tadi sudah termasuk ongkos ojek seharga lima ribu yang akan membawa kita sampai ke pelabuhan. Letak pelabuhannya agak jauh dari pasar tadi. Namun sepanjang perjalanan kita akan disuguhi panorama birunya laut disisi kanan kiri jalan. Apa yang lebih mengasyikan daripada naik motor sambil menikmati hembusan angin laut? :D
Sesampainya di pelabuhan, saya langsung menuju loket pembelian tiket. Kali ini tidak bisa langsung masuk karena ada petugas yang berjaga haha. Harga tiket penyebrangan selat alas untuk dewasa adalah Rp.19.000. Fery yang melayani rute penyebrangan ini akan ada disetiap jamnya bahkan tak sampai sejam bisa ada dua sampai tiga fery yang bersandar. Jadi jangan beranggapan jika ingin menyebrang maka harus dijam-jam tertentu.
Tapi pertanyaannya, mau nyebrang kemanakah kita? Emang, rumah kau dimana? Hey guys, lihat dulu peta Indonesia. Pulau yang terletak disebelah timur Lombok adalah pulau Sumbawa. Iya Sumbawa, one of most beautiful islands in Nusa Tenggara, menurut saya hehe.
Kalau ditanya ada yang tahu pulau Sumbawa, kebanyakan dari anda akan celingak celinguk kanan kiri gak jelas, karena gak tahu pulau itu ada dimana. Ya secara umum, pulau Sumbawa tidak terlalu tersohor seperti Lombok ataupun Bali. Namun jangan salah, panorama alamnya menyajikan suatu yang berbeda yang jarang anda atau bahkan belum pernah ditemukan ditempat lain.


Bagi anda yang belum pernah melihat atau
menaiki kapal fery, ini saya kasih salah satu penampakannya :D
Kembali ke perjalanan, kali ini merupakan keberuntungan bagi saya karena dapat menaiki fery yang desain interiornya beda dengan yang lain. Kapal fery yang saya naiki kali ini memiliki ruang VIP yang bisa dikatakan mewah. Terdiri dari 4 tingkatan termasuk tingkat paling atas tempat kemudi kapal oleh nahkoda.
Saya sengaja memilih duduk di ruang terbuka dekat ruang kemudi kapal agar bisa merasakan sensasi hembusan angin laut. Hal apa yang lebih mengasyikan daripada membaca sebuah buku diatas dek kapal sambil menikmati birunya laut dan langit?, ah coba anda pikirkan sendiri bagaimana sensasinya.
Ditengah perjalanan saya bertemu seorang pria yang berpakaian casual dengan kamera DSLR ditangannya. Rupanya ia berasal dari Jakarta dan sepertinya ada hajat penting yang membawa ia berkunjung ke pulau Sumbawa. Karena kebetulan saya kuliah di Jakarta, saya memberanikan diri untuk saling mengenal lebih jauh. Berhubung pulau Sumbawa sudah semakin dekat, kami akhirnya sibuk sendiri mengambil gambar pemandangan-pemandangan yang ada disekitar. Ia dengan kamera DSLRnya dan saya dengan camdig mini kesayangan.
Selamat Datang di Tanah Samawa, Bumi Pariri Lema Bariri
Bukit-bukit sabana alami yang mencuat diantara birunya lautan, pulau-pulau kecil yang gersang namun eksotik mulai terlihat ketika sudah mulai memasuki perairan dermaga pelabuhan Poto Tano, Sumbawa Barat. Dermaga ini tidak berubah sejak dari dulu, hanya tulisan pembuka di gerbang pelabuhannya yang berubah. Disamping kanannya tertulis “Selamat Datang di Tanah Samawa” dan sebelah kirinya tertulis “Pariri Lema Bariri”. Pariri Lema Bariri merupakan semboyan kabupaten Sumbawa Barat, kabupaten dimana pelabuhan Poto Tano berada.
Keluar dari kapal fery, terik panas matahari ala Sumbawa langsung menyambut tanpa basa basi. Dari kejauhan terlihat pria yang saya kenal di fery tadi disambut hangat oleh orang-orang yang dijumpainya.
Nah sebelum melakukan estafet sekali lagi, ada satu tempat yang ingin saya kunjungi. Letaknya tak jauh dari pelabuhan Poto Tano. Pulau Kenawa! Pulau ini yang sudah lama saya incar selama masih di Jakarta. Belum banyak orang yang datang kesana sehingga wajar jika belum banyak orang yang tahu tentang keberadaan pulau ini. Saya penasaran karena bagi setiap orang yang pernah berkunjung kesana, selalu ada kesan luar biasa yang timbulkan.
Namun sebelum berkunjung ke pulau Kenawa, ada satu bukit yang menarik perhatian saya. Bukit itu berada tak jauh dari pelabuhan Poto Tano, bukit paling tinggi diantara bukit-bukit sabana yang lain. Perlu upaya keras untuk sampai ke puncaknya. Alhasil, dengan keringat yang menetes dan menempel dibaju saya berhasil mencapai puncak dan mendapati view yang sangat eksotis. Coklat, biru, biru muda, hijau, semuanya terpantau mata dalam satu kali sapuan pandangan. Horizon langit, dimana titik antara ujung laut dan ujung langit bertemu dapat terlihat jelas dari atas sini. Puncak Rinjani pun tak ketinggalan menyapa dari pulau Lombok.

View pemandangan dari atas
bukit sabana yang menakjubkan
...
Dengan menaiki perahu motor yang dapat memuat sampai 20 orang dengan bayaran sekitar Rp.20.000,00 per orang, cita-cita kecil saya akhirnya tercapai. Perahu motor yang saya tumpangi itu tak lebih dari 20 menit bergerak membelah birunya selat alas. Dari kejauhan terlihat sebuah pulau yang terdapat sebuah bukit diatasnya.
“itu dia pulaunya”, kata Pak Gani yang memiliki jasa perahu motor tersebut.
Memang tak bisa dipungkiri lagi, panorama pulaunya sungguh luar biasa. Perpaduan antara birunya laut, putihnya pasir pantai, padang rumput yang menghijau, serta bukit coklat gersang yang menjulang tinggi di sudut pulau itu sangat memukau hati siapa saja yang berkunjung kesana. Di pinggir pulau terdapat beberapa gazebo yang bisa dipakai untuk berkumpul bersama sambil menikmati keindahan Kenawa.
Saya tak bisa berkata apa-apa lagi, segera saya potret semua sudut dan detail dari pulau itu. Rasanya tak ingin saya melewatkan satu inchi pun bagian dari pulau itu. 

Salah satu view paling menarik di Pulau Kenawa,
Kembalinya dari pulau Kenawa, kini saya harus menunggu bus di pinggir jalan raya yang akan membawa saya menuju tempat tinggal tercinta. Berkali-kali bunyi terompet menandakan ada kapal fery yang akan segera bersandar, tetapi tak kunjung saya dapati bus yang mengarah ke daerah Dompu atau Bima. Hingga akhirnya beberapa menit sebelum adzan maghrib dikumandangkan, munculah bus yang sudah tak asing bagi saya “Mataram-Bima”. Alhamdulillah, akhirnya saya bisa pulang juga. Segera saya stop bus itu dan bernego dengan kernetnya untuk masalah tarif menumpang. Lumayan, lebih murah dari yang saya kira.
Matahari di ufuk barat sudah mulai tak tampak lagi. Eksotisme kini berganti menjadi gelap dan hitam. Supir bus yang kutumpangi segera menancapkan gasnya, tanda estafet terakhir akan segera dimulai. Roda kehidupan berputar seperti berputarnya roda bus ini pada porosnya. Semua sisi akan merasakan semua keadaan, diatas dan dibawah. Begitu juga rangkaian perjalanan saya kali ini.
***

Cara ke Pulau Kenawa
Dari pelabuhan Kayangan, Lombok Timur dengan melakukan penyebrangan menggunakan fery ke pelabuhan Poto Tano. Kemudian dermaga untuk menuju Pulau Kenawa letaknya tak jauh dari pelabuhan, anda tinggal bertanya pada warga sekitar. Cari waktu yang biasanya ramai dikunjungi orang, misalnya hari sabtu atau minggu agar beban untuk membayar ongkos perahu tidak terlalu besar. Untuk mencari warga yang memiliki jasa penyebrangan ke Pulau Kenawa, bisa langsung menanyakan warga disekitar pelabuhan atau kantor pariwisata yang ada di desa itu. Berikut CP yang bisa dihubungi : 081909048112 (Pak Gani) atau 087863755769 (Petugas kantor pariwisata di desa Poto Tano).

0 comments:

Post a Comment