Perjalanan Estafet Melintasi Jawa dan Nusa Tenggara
oleh : Ayub A. Rahman
Ahh.. nikmatnya.. setelah hampir setahun
lamanya, akhirnya saya bisa menikmati hembusan angin yang melambai khas dari
kampung halaman tercinta. Di saung yang terletak di tengah-tengah pematang
sawah, tak jauh dari rumah, dengan tenangnya saya membaca buku tanpa ada beban
pikiran sedikitpun. Suatu kenikmatan yang saya rindukan setelah berlelah lelah
menuntut ilmu di kota metropolitan, Jakarta.
Ding.. dong.... alarm handphone
membangunkan saya dari mimpi indah yang saya kira itu nyata.Rupanya kerinduan
saya akan suasana kampung halaman sudah tak terbendung lagi. Ya, karena hari
ini saya akan melakukan suatu perjalanan yang sangat dinantikan. Untuk pertama
kalinya, saya memilih melakukan estafet secara sendirian dalam perjalanan ke
kampung halaman saya di Nusa Tenggara Barat. Ya, sendiri, tak ada kawan atapun
sahabat yang menemani. Perjalanan akan saya lakukan estafet dari kereta api
berganti ke kapal fery, bus, angkot, naik fery lagi, dan seterusnya.
Rasanya campur aduk antara bahagia,
takut, khawatir, dan kesepian. Tapi tak apalah, saya coba menguatkan diri.
Selama saya masih berdo’a dan dengan niatan yang lurus, insya’Allah Tuhan akan
senantiasa melindungi. Ayah ibu, tunggu aku dirumah.
Perjalan Perdana by Kereta Api
Sabtu, 13 September 2014, berulang kali
saya membuka tas kecil untuk memastikan tiket kereta masih ada. Empat lembar
tiket pulang pergi itu saya selipkan diantara brosur PT.KAI yang saya dapat
dari customer service stasiun di Pasar Senen.
Proooommppp... tepat pukul 10.30 WIB
kereta Gaya Baru Malam meninggalkan stasiun Jakarta Kota, pengalaman pertama kalinya
menaiki kereta. Sungguh waktu itu saya sangat senang sekali.Tertegun, diam,
melamun hanya itu yang saya lakukan ketika menikmati perjalanan. Tidakkah anda
merasa kesepian ketika melakukan perjalanan sendirian?. Kalau kata ayah Ebiet
G. Ade, “Perjalanan ini terasa sangat
menyedihkan, sayang engkau tak duduk disampingku kawan”.Ya, kurang lebih
sepenggal syair itu begitu mewakilkan perasaan saya kala itu.
Namun jiwa seorang petualang bagi saya
tak mengenal rasa kesepian. Selama masih kita temui pengalaman yang
menyenangkan, itulah teman terbaik disaat perjalanan.
Sudah berjam-jam lamanya. Kantung mata yang
ingin terpejam seakan tak dapat terbendung lagi, namun rasa was-was selalu menyertai.
Saya takut tempat tujuan saya akan terlewat. Untungnya seorang wanita tua yang
duduk didepan saya mengajak saya berbicara.
Siang kini menjelma menjadi malam,
dinginnya AC dalam gerbong kereta kini mengusik ketenangan batin. Dari luar
kacasisi sebelah bangku rupanya sudah terlihat sebuah bangunan yang ramai
dipenuhi orang-orang yang sepertinya dari tadi sudah menunggu. Stasiun, kini
saya telah tiba di stasiun Lempuyangan Yogyakarta.
Yogyakarta, Cinta Satu Malam
“Mas, kalau mau jalan-jalan ke Malioboro aja.., “
Hatiku tersentak ketika mendengar
pernyataan itu. Seorang bapak, marbot salah satu masjid di dekat stasiun
Lempuyangan yang baru saya kenal, memberi arahan kepada saya untuk sekedar
menikmati hiruk pikuk kota Yogyakarta di malam hari.
“oh, kalau mau kesana lewat mana ya pak?”
“nanti dari sini lurus aja, perempatan belok kiri, terus
lurus, bla bla bla...”
Jujur saja tak sampai terpikirkan oleh
saya untuk menjelajahi kota pelajar ini dalam satu malam dan sendirian, karena
ini adalah pertama kalinya saya menginjakan kaki disini. Hati saya berdegub
kencang apalagi ketika mendengar kata Malioboro. Ingin rasanya melihat sebagian
kecil sudut Yogyakarta yang katanya indah itu.
Untungnya bapak yang saya temui itu
baik sekali, setelah menjama’kan shalat maghrib dan isya’. Saya langsung
menitipkan tas carier dan pergi ke Malioboro tanpa membawa beban yang berat.
Sungguh pertolongan Allah itu ada dimana-mana.
...
Kerlingan lampu-lampu yang temaram
menambah suasana romantis di sebuah jalan lurus di pusat kota Yogyakarta.
Disana sini orang-orang ramai melakukan hal yang mereka sukai. Makan malam di
warung lesehan, menonton wayang di dinas pariwisata, beli batik di toko
kerajinan atau hanya sekedar berfoto di papan nama jalan Malioboro. Sungguh
tempat ini memberi kesan baru yang belum pernah saya dapatkan sebelumnya.
Jalan lurus yang terbentang dari
Stasiun Tugu sampai keraton Yogyakarta itu seakan-akan tak henti menawarkan
kesenangan duniawi. Dari pusat pertokoan, saya berjalan ke utara untuk sekedar melihat papan nama jalan yang
tertulis “Jl. Malioboro”.
Tak hanya itu, kemudian saya berputar
arah ke selatan. Ternyata disana lebih ramai lagi, saya menemukan sebuah bangunan
tua nan estetis yang dinamakan Benteng Vredeburg. Disebelahnya ada sebuah lapangan
yang ditengah-tengahnya berdiri sebuah monumen “Monumen Serangan Umum Satu Maret”. Tempat itu menjadi tempat
favorit bagi anak-anak muda yang memadu kasih dengan pasangannya ataupun yang
sekedar have fun dengan komunitas-komunitasnya sendiri.
Monumen Serangan Umum Satu Maret yang sepertinya sedang direnovasi |
Di sepanjang jalan, tak jarang saya
menemukan jiwa-jiwa kreatif masyarakat Yogyakarta. Mengamen untuk mendapatkan
uang dilakukan dengan kreatifitas yang tanpa batas, alunan nada dari petikan
gitar membuat jiwa saya semakin bersemangat menikmati malam itu. Tak ketinggalan
mas-mas dan mbak-mbak yang berperan sebagai costplay, ada yang menjadi hantu,
spongebob, power ranger, dan masih banyak lagi. Sungguh, kota ini sangat hidup!
Tapi satu tempat yang membuat saya
ingin sekali melihatnya, Keraton Yogyakarta. Sayang sekali tidak bisa masuk
kedalamnya.
Malam semakin larut, waktu sudah
menunjukan pukul setengah duabelas malam. Saya harus segera kembali ke Masjid
tadi. Pikiran saya, di masjid itu menyediakan tempat untuk tidur atau
beristirahat. Tapi nyatanya setelah saya sampai disana, pintunya sudah terkunci
dan akhirnya saya harus mencari tempat tidur diluar. Sumpah, malam itu saya
bingung mau tidur dimana. Mau cari penginapan?, Saya sangat menyayangkan uang
dalam kantong dipakai demi tidur diatas kasur.
Saya coba masuk kembali kedalam stasiun
tetapi security melakukan sterilisasi didalam stasiun. Akhirnya saya menuju ke
pertokoan maupun kios-kios yang berada diseberang stasiun. Disalah satu toko
saya melihat ada sebuah tempat yang lumayan enak dijadikan tempat tidur. Tidur
di emperan toko? Siapa takut!. Sayapun memberanikan diri, demi melepas lelah
setelah mengumpulkan pengalaman seharian. Tapi rasanya mata ini susah terpejam,
pikiran bercampur aduk antara ketakutan dan kerinduan suasana kampung halaman.
Ya Allah lindungi hambamu.
Dari Gerbong Pindah ke Kapal
Pagi yang ceria kini menyambut dengan
suka cita. Setelah mengambil tas carier dan berpamitan dengan pak marbot masjid
itu, saya segera masuk kembali ke stasiun karena jadwal pemberangkatan kereta
saya yang selanjutnya adalah pukul 07.05 pagi.
Perjalanan yang ditempuh akan lebih lama,
diperkirakan kereta akan tiba sekitar pukul 8 malam di ujung timur pulau Jawa,
Banyuwangi. Saya kali ini lebih banyak tertidur pulas karena tak takut lagi tujuan akhir saya terlewati.
Namun akhirnya kereta sampai 1 jam lebih lambat dari jadwal yang ditentukan. Ketika KA Sri Tanjung yang saya tumpangi berhenti di stasiun akhir, stasiun Banyuwangi Baru, waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam. Ada satu cerita ketika saya hendak balik dari kampung ke Jakarta. Saat tiba di stasiun Banyuwangi Baru (rencananya akan ke Malang), waktu menunjukan pukul 1 malam. Sementara jadwal keberangkatan yang ada di tiket adalah jam 5 shubuh. Saya melihat disepanjang koridor stasiun sudah ada banyak orang yang tidur tergeletak seperti korban bencana alam. Rupanya mereka adalah fans dari klub sepakbola kebanggaan Banyuwangi - entah apa namanya - yang akan bertanding di Jogja. Karena pemberangkatan keretanya masih beberapa jam lagi, akhirnya saya putuskan untuk ikut beristirahat di lantai koridor stasiun itu juga. Sedih.
Dengan mengikuti petunjuk arah yang tertera di jalan, saya mencoba mencari suatu tempat untuk melakukan estafet selanjutnya. Setelah berjalan sekitar 15 menit,
tibalah saya di sebuah tempat yang sudah tak asing lagi. Deru ombak mulai
menyapa, rasanya lautan dan semesta menyambut kehadiran saya kala itu. Dengan
tiket seharga Rp.6.500,00 bersama kapal fery yang saya tumpangi, saya
meninggalkan pelabuhan Ketapang, Banyuwangi.
Sekitar 45 menit lamanya saya bersama
penumpang lainnya mengarungi selat Bali, cukup lama karena ombak sedang kencang
saat itu. Namun kalau anda lihat di peta, letak pulau Bali dan Jawa seperti
tidak terpisahkan karena memang dekat sekali.
Rupanya sayup-sayup cahaya temaram dari
pulau Jawa masih bisa terlihat dari pelabuhan Gilimanuk.Saya sedikit takjub,
ketika melihat waktu di handphone saya bertambah cepat satu jam. Ternyata
setingannya sudah otomatis, mengindikasikan bahwa saya telah melakukan
perpindahan dari daerah WIB ke WITA.
Semua penumpang turun dari fery menuju
pelabuhan Gilimanuk. Ada yang tak biasa di pelabuhan ini, mungkin bagi anda
yang belum pernah ke Bali. Setiap orang baik pejalan kaki maupun didalam
kendaraan yang datang dari pulau Jawa, wajib memeriksakan KTPnya ke petugas
yang standbydi pintu masuk pelabuhan. Tujuannya apa ya? Untuk mencegah adanya
teroris? Atau mengingatkan masyarakat agar selalu membawa KTP?, saya kira
tidak. Pengalaman setahun yang lalu ketika saya mudik menggunakan bus, saya
sempat tertahan oleh petugas-petugas itu. Saat itu saya belum memiliki KTP
karena harus ngurus di kampung, namun karena dituntut mengeluarkan identitas,
saya keluarkan kartu mahasiswa saya. Tapi yang terjadi, KTM saya ditolak,
“dek, biar gak susah ngurus besok pagi, kasih aja dua puluh
ribu untuk biaya administrasi”
Apa? “Kan KTP saya belum dibuat pak, kenapa harus bayar?”, ucap saya
sedikit membela. Namun petugas itu tetap ngotot dan sayapun akhirnya
mengeluarkan uang dua puluh ribu perak dari saku.
Sumpah, menjengkelkan, tapi apadaya.
Inilah secuil birokrasi di Indonesia. Semoga uang saya tadi masuk dalam kas
pajak daerah ya pak.
Selamat Berjumpa Kembali, Bali!
“Helo, Bali? How are you?”, lama kita tak berjumpa.
Satu kalimat itu muncul dibenak saya
ketika melangkahkan kaki keluar dari gerbang pelabuhan Gilimanuk. Tak jauh dari
sana, sekitar 50 meter dari pelabuhan terdapat terminal Gilimanuk. Aroma khas
dupa Bali mulai terasa disini. Saya bergegas mencari bus yang nantinya akan
menghantarkan saya sampai ke pelabuhan padang bai. Namun ternyata, saya sedikit
sial malam itu. Rupanya belum ada bus yang berangkat. Biasanya bus pertama
dijadwalkan berangkat sekitar jam 1 malam. Saya melihat jam tangan masih
menunjukan pukul setengah 12 malam. Mau gak mau, anjing-anjing liar yang ada
disekitaran terminal itu harus menemani saya malam itu.
Duduk selonjoran dikoridor terminal
membuat saya terkesan seperti gembel. Ingin rasanya tertiudr, tapi sangat
takut, takut, beberapa orang yang kebetulan ada diterminal itu tampaknya sedang
mengawasiku.
Terminal Gilimanuk, sepi... |
Bus melaju dengan kencang hingga saya
tak sadar bus yang bertuliskan “Gilimanuk
– Padang Bay” itu sudah mulai menurunkan semua penumpangnya. Hari sudah
mulai terang, pelabuhan Padang Bay sudah didepan mata. Saya kebingungan ketika
mencari loket untuk membeli tiket fery.
“Ah, sepertinya sepi, masuk saja..”
Wow, luar biasa bagi saya karena bisa
masuk tanpa harus membayar tiket. Namun ternyata dipersimpangan jalan
kedermaga, ada seorang bapak yang berjaga.
“ selamat pagi mas, ABK ya?”
“engg... Bukan pak,,”,
“Tiketnya mana?”,
“engg... tadi saya mau beli tapi loketnya kayaknya tutup
pak”,
“yaudah sekarang bayar sama saya, empat puluh ribu aja”,
“iya pak,”,
saya merogoh isi kantongkemudian langsung pergi menuju dermaga.
Fiuhh.. untung saja. Hati saya sudah
berdebar, kira-kira saya mau diapakan ini. Meskipun gak jadi backpacker
gratisan, Alhamdulillah harga tiket yang saya beli menjadi lebih murah lima
ribu karena aslinya seharga Rp.45.000,00.
Potret pelabuhan padang bay Bali, dari atas fery |
Tanah Sasambo, NTB
Perut yang mual daritadi seakan ingin
mengeluarkan seluruh isinya karena ikut terombang ambing fery selama lima jam
di selat lombok. Untuk menghibur diri, sengaja saya melayangkan pikiran ke
suasana kampung halaman yang sudah dinanti nanti. Ah, rasa rindu itu sudah tak
terbendung lagi.
Tak lama kemudian, bunyi sirine khas
kapal fery membuyarkan lamunanku, tanda fery akan segera bersandar di
pelabuhan. Tadaaa... Welcome to West Nusa
Tenggara, Selamat datang di Bumi Sasambo. Sasambo adalah julukan dari Provinsi NTB yang merupakan singkatan
dari nama-nama suku yang ada disana, suku Sasak, Samawa, dan Mbojo.
Untungnya sebelum sampai dipelabuhan,
saya sudah janjian dengan seorang kerabat agar menjemput saya disini,
lumayanlah untuk menghemat uang. Sementara di Lombok saya mampir sejenak kerumah
kakak saya dan tinggal disana sehari, esoknya saya memulai perjalanan lagi ke
Dompu, kampung halaman saya.
...
Petualangan saya pun berlanjut terus
kearah timur. Jarak yang harus ditempuh dari kota Mataram ke Dompu sekitar 390
km. Kalau mau yang praktis, bisa membeli tiket bis di terminal mandalika yang
harganya 200ribu di hari biasa, sudah termasuk makan sekali dan tiket fery.
Namun kalau anda mau melakukan trip seperti saya tentunya akan lebih murah,
tetapi harus ada satu hal yang ada pada diri anda, Nekad!.
Pertama, untuk sampai ke pelabuhan
kayangan, kita bisa menumpang kendaraan sejenis angkot yang ukurannya sedikit
lebih besar. Kendaraan ini bisa kita temui di dekat terminal mandalika,
Mataram. Awalnya saya tidak tahu berapa ongkosnya, namun setelah bertanya ke
orang lain, ongkosnya sekitar dua puluh hingga tiga puluh ribu sesuai dengan
supir angkot yang kita tumpangi.
Kendaraan ini terasa sangat sumpek, tas
carier yang saya bawa menambah sesak ruang yang tersedia. Tapi tak apalah, bagi
anda yang backpacker sejati tentunya hal ini tak menjadi masalah bagi anda. Pun
di perjalanan anda akan disuguhi pemandangan pulau Lombok yang khas dengan
pematang sawahnya dan gunung Rinjani yang menjulang tinggi disebelah utara,
saya sengaja memilih kursi dipinggir jendela agar bisa menikmati itu semua. Sungguh
saat itu merupakan satu pengalaman yang menakjubkan.
Sekitar tiga jam lamanya, akhirnya
sampai juga di sebuah pasar. Tiba-tiba angkotnya berhenti.
“dek, saya ngantarin sampai disini saja. Kalau mau ke kayangan
naik ojek saja ya”
“oh, oke pak. Ojeknya bayar berapa ya, pak?”
“oh, ndak usah bayar. Sudah saya bayarin”
Alhamdulillah, rupanya dua puluh lima
ribu yang kubayar tadi sudah termasuk ongkos ojek seharga lima ribu yang akan
membawa kita sampai ke pelabuhan. Letak pelabuhannya agak jauh dari pasar tadi.
Namun sepanjang perjalanan kita akan disuguhi panorama birunya laut disisi
kanan kiri jalan. Apa yang lebih mengasyikan daripada naik motor sambil
menikmati hembusan angin laut? :D
Sesampainya di pelabuhan, saya langsung
menuju loket pembelian tiket. Kali ini tidak bisa langsung masuk karena ada
petugas yang berjaga haha. Harga tiket penyebrangan selat alas untuk dewasa
adalah Rp.19.000. Fery yang melayani rute penyebrangan ini akan ada disetiap
jamnya bahkan tak sampai sejam bisa ada dua sampai tiga fery yang bersandar.
Jadi jangan beranggapan jika ingin menyebrang maka harus dijam-jam tertentu.
Tapi pertanyaannya, mau nyebrang
kemanakah kita? Emang, rumah kau dimana? Hey guys, lihat dulu peta Indonesia.
Pulau yang terletak disebelah timur Lombok adalah pulau Sumbawa. Iya Sumbawa, one of most beautiful islands in
Nusa Tenggara, menurut saya hehe.
Kalau ditanya ada yang tahu pulau
Sumbawa, kebanyakan dari anda akan celingak celinguk kanan kiri gak jelas,
karena gak tahu pulau itu ada dimana. Ya secara umum, pulau Sumbawa tidak
terlalu tersohor seperti Lombok ataupun Bali. Namun jangan salah, panorama
alamnya menyajikan suatu yang berbeda yang jarang anda atau bahkan belum pernah
ditemukan ditempat lain.
Bagi anda yang belum pernah melihat atau menaiki kapal fery, ini saya kasih salah satu penampakannya :D |
Kembali ke perjalanan, kali ini
merupakan keberuntungan bagi saya karena dapat menaiki
fery yang desain interiornya beda dengan yang lain. Kapal fery yang saya naiki
kali ini memiliki ruang VIP yang bisa dikatakan mewah. Terdiri dari 4 tingkatan
termasuk tingkat paling atas tempat kemudi kapal oleh nahkoda.
Saya sengaja memilih duduk di ruang
terbuka dekat ruang kemudi kapal agar bisa merasakan sensasi hembusan angin
laut. Hal apa yang lebih mengasyikan daripada membaca sebuah buku diatas dek
kapal sambil menikmati birunya laut dan langit?, ah coba anda pikirkan sendiri
bagaimana sensasinya.
Ditengah perjalanan saya bertemu
seorang pria yang berpakaian casual dengan kamera DSLR ditangannya. Rupanya ia
berasal dari Jakarta dan sepertinya ada hajat penting yang membawa ia
berkunjung ke pulau Sumbawa. Karena kebetulan saya kuliah di Jakarta, saya
memberanikan diri untuk saling mengenal lebih jauh. Berhubung pulau Sumbawa
sudah semakin dekat, kami akhirnya sibuk sendiri mengambil gambar
pemandangan-pemandangan yang ada disekitar. Ia dengan kamera DSLRnya dan saya
dengan camdig mini kesayangan.
Selamat Datang di Tanah Samawa, Bumi Pariri Lema Bariri
Bukit-bukit sabana alami yang mencuat
diantara birunya lautan, pulau-pulau kecil yang gersang namun eksotik mulai
terlihat ketika sudah mulai memasuki perairan dermaga pelabuhan Poto Tano,
Sumbawa Barat. Dermaga ini tidak berubah sejak dari dulu, hanya tulisan pembuka
di gerbang pelabuhannya yang berubah. Disamping kanannya tertulis “Selamat Datang di Tanah Samawa” dan
sebelah kirinya tertulis “Pariri Lema
Bariri”. Pariri Lema Bariri merupakan semboyan kabupaten Sumbawa Barat,
kabupaten dimana pelabuhan Poto Tano berada.
Keluar dari kapal fery, terik panas
matahari ala Sumbawa langsung menyambut tanpa basa basi. Dari kejauhan terlihat
pria yang saya kenal di fery tadi disambut hangat oleh orang-orang yang
dijumpainya.
Nah sebelum melakukan estafet sekali lagi,
ada satu tempat yang ingin saya kunjungi. Letaknya tak jauh dari pelabuhan Poto
Tano. Pulau Kenawa! Pulau ini yang sudah lama saya incar selama masih di
Jakarta. Belum banyak orang yang datang kesana sehingga wajar jika belum banyak
orang yang tahu tentang keberadaan pulau ini. Saya penasaran karena bagi setiap
orang yang pernah berkunjung kesana, selalu ada kesan luar biasa yang
timbulkan.
Namun sebelum berkunjung ke pulau
Kenawa, ada satu bukit yang menarik perhatian saya. Bukit itu berada tak jauh dari
pelabuhan Poto Tano, bukit paling tinggi diantara bukit-bukit sabana yang lain.
Perlu upaya keras untuk sampai ke puncaknya. Alhasil, dengan keringat yang
menetes dan menempel dibaju saya berhasil mencapai puncak dan mendapati view
yang sangat eksotis. Coklat, biru, biru muda, hijau, semuanya terpantau mata
dalam satu kali sapuan pandangan. Horizon langit, dimana titik antara ujung
laut dan ujung langit bertemu dapat terlihat jelas dari atas sini. Puncak
Rinjani pun tak ketinggalan menyapa dari pulau Lombok.
View pemandangan dari atas bukit sabana yang menakjubkan |
...
Dengan menaiki perahu motor yang dapat
memuat sampai 20 orang dengan bayaran sekitar Rp.20.000,00 per orang, cita-cita
kecil saya akhirnya tercapai. Perahu motor yang saya tumpangi itu tak lebih
dari 20 menit bergerak membelah birunya selat alas. Dari kejauhan terlihat
sebuah pulau yang terdapat sebuah bukit diatasnya.
“itu dia pulaunya”, kata Pak Gani yang memiliki jasa perahu motor tersebut.
Memang tak bisa dipungkiri lagi,
panorama pulaunya sungguh luar biasa. Perpaduan antara birunya laut, putihnya
pasir pantai, padang rumput yang menghijau, serta bukit coklat gersang yang
menjulang tinggi di sudut pulau itu sangat memukau hati siapa saja yang
berkunjung kesana. Di pinggir pulau terdapat beberapa gazebo yang bisa dipakai
untuk berkumpul bersama sambil menikmati keindahan Kenawa.
Saya tak bisa berkata apa-apa lagi,
segera saya potret semua sudut dan detail dari pulau itu. Rasanya tak ingin
saya melewatkan satu inchi pun bagian dari pulau itu.
Salah satu view paling menarik di Pulau Kenawa, |
Kembalinya dari pulau Kenawa, kini saya
harus menunggu bus di pinggir jalan raya yang akan membawa saya menuju tempat
tinggal tercinta. Berkali-kali bunyi terompet menandakan ada kapal fery yang
akan segera bersandar, tetapi tak kunjung saya dapati bus yang mengarah ke
daerah Dompu atau Bima. Hingga akhirnya beberapa menit sebelum adzan maghrib
dikumandangkan, munculah bus yang sudah tak asing bagi saya “Mataram-Bima”. Alhamdulillah, akhirnya
saya bisa pulang juga. Segera saya stop bus itu dan bernego dengan kernetnya
untuk masalah tarif menumpang. Lumayan, lebih murah dari yang saya kira.
Matahari di ufuk barat sudah mulai tak
tampak lagi. Eksotisme kini berganti menjadi gelap dan hitam. Supir bus yang
kutumpangi segera menancapkan gasnya, tanda estafet terakhir akan segera
dimulai. Roda kehidupan berputar seperti berputarnya roda bus ini pada
porosnya. Semua sisi akan merasakan semua keadaan, diatas dan dibawah. Begitu
juga rangkaian perjalanan saya kali ini.
***
Cara ke Pulau Kenawa
Dari pelabuhan Kayangan, Lombok Timur dengan melakukan penyebrangan menggunakan fery ke pelabuhan Poto Tano. Kemudian dermaga untuk menuju Pulau Kenawa letaknya tak jauh dari pelabuhan, anda tinggal bertanya pada warga sekitar. Cari waktu yang biasanya ramai dikunjungi orang, misalnya hari sabtu atau minggu agar beban untuk membayar ongkos perahu tidak terlalu besar. Untuk mencari warga yang memiliki jasa penyebrangan ke Pulau Kenawa, bisa langsung menanyakan warga disekitar pelabuhan atau kantor pariwisata yang ada di desa itu. Berikut CP yang bisa dihubungi : 081909048112 (Pak Gani) atau 087863755769 (Petugas kantor pariwisata di desa Poto Tano).
0 comments:
Post a Comment