"Sungguh, tempat itu mengajarkan saya banyak hal, karena pada hakikatnya setiap tempat adalah guru bagi kita"
Tahukah anda?
Sejak saya
kuliah di STIS ini. Saya bersama beberapa teman saya punya salah satu kegiatan
rutin. InsyaAllah kegiatannya bermanfaat. Kami mengajar disebuah Taman
Pendidikan Al-Qur’an yang dinamai oleh kami, Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA)
Kuburan Cina.
Kami
bukanlah penggagas kegiatan ini, karena kegiatan ini sudah bertahun-tahun
dilaksanakan oleh kakak tingkat sebelum kami. Berdirinya Taman Pendidikan
Al-Qur’an ini merupakan dulunya gagasan dari mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu
Statistik (STIS) khususnya unit kegiatan mahasiswa Rohis STIS sebagai bentuk
pengabdian bagi masyarakat serta rasa tanggung jawab sebagai seorang muslim
untuk saling berbagi guna menyebarluaskan budaya membaca Al-Qur’an di kalangan
masyarakat.
Taman
Pendidikan Al-Qur’an (TPA) Kuburan Cina ini beralamat di Kampung Ujung, Jalan
Panca Warga 30 RT/RW 15/02 Kelurahan Cipinang Besar Selatan, Jakarta Timur.
Sebagian besar masyarakat di Kampung ini
sangat menerima dengan baik kehadiran kami sebagai pengajar TPA. Untuk aktivitas kegiatan mengajinya, kami biasa memakai mushola yang bernama Darus Sa'adah, satu-satunya tempat ibadah disana.
Namun
yang sangat memprihatinkan, sebagian besar (bahkan mungkin seluruhnya) warga
yang ada di kampung tersebut dapat dikategorikan penduduk miskin. Ada sekitar
90an rumah tangga dengan jumlah warga keseluruhan sekitar 400-450 jiwa. Mayoritas
muslim, hanya beberapa yang non muslim.
Potret kemiskinan dapat kita lihat langsung saat memasuki wilayah kampung ini. Kondisi rumah tinggal yang kurang layak, sanitasi yang kurang memadai, bahkan interaksi manusia dengan hewan peliharaan terlalu dekat yang dapat memudahkan masyarakat disana terjangkit penyakit. Dari namanya saja “kuburan cina” pastilah sudah tergambar dalam pikiran kita bahwa kompleks perkampungan ini terletak dekat dengan kuburan.
Potret kemiskinan dapat kita lihat langsung saat memasuki wilayah kampung ini. Kondisi rumah tinggal yang kurang layak, sanitasi yang kurang memadai, bahkan interaksi manusia dengan hewan peliharaan terlalu dekat yang dapat memudahkan masyarakat disana terjangkit penyakit. Dari namanya saja “kuburan cina” pastilah sudah tergambar dalam pikiran kita bahwa kompleks perkampungan ini terletak dekat dengan kuburan.
Yaa, bukan dekat lagi. Kuburan sudah jadi wilayah mereka beraktivitas setiap hari. Bahkan ada beberapa rumah yang didirikan diatas kuburan. Kalau mau tahu lebih dekat, sebagian besar pekerjaan kepala rumah tangga disana adalah buruh rongsokan, kuli panggul, dan pengrajin kayu. Tidak sedikit yang menggantungkan hidup dari hasil memulung.
Asal anda tahu, ketika saya berjalan disekitar kos pada malam atau dini hari, saya beberapa kali menjumpai warga kampung sana yang tengah menarik gerobak berisi tumpukan-tumpukan sampah yang berharga bagi mereka. Tidak hanya sampah yang saya lihat, terkadang saya dapati seorang anak tengah memanggil saya “kakaaaakk....” .
Ya, itu adalah warga kampung ujung yang baru pulang dari
bekerja menuju rumahnya.
Anaknya
jika diajak mulung brooh, kasihan sih kasihan :( tapi mau gimana lagi, setidaknya mereka bisa
meringankan pekerjaan bapak/ibunya di jalan.
anak-anak disana banyak yang sudah terbiasa bermain dengan hewan |
Setidaknya
ini bisa memberikan seikit gambaran bahwa Jakarta, ibukota negara republik
Indonesia yang kita cintai ini. Tidak hanya memiliki sisi kemewahan dibalik
megahnya bangunan-bangunan pencakar langit yang menjulang gagah ataupun sisi
kemodern-an dibalik semakin canggihnya teknologi dan sistem komunikasi
informasi disana. Jakarta memiliki dua sisi yang bertolak belakang, tidak
seperti yang saya bayangkan dulunya dan orang kampung lainnya, melalui
televisi.
Yah, semoga
saja sepetak lahanyang seperti itu bisa sesekali tertengok oleh pemimpin
Jakarta.
Untuk
saat ini, saya bersama teman-teman seperjuangan cuma bisa berbuat hal kecil
bagi mereka. Masih bersyukur bisa diberi kesempatan mengajar iqro dan Al-Qur’an
untuk mereka, untuk anak-anak disana. Hanya hal kecil, tetapi mungkin anak-anak
itu menganggapnya remeh. Padahal dari situlah harapan kami, mengajarkan Al-Qur’an,
sopan santun dan tata krama, agar nantinya mereka bisa tumbuh menjadi orang
yang berbudi, berpendidikan. Sehingga mereka sendirilah yang akan menaikan
derajad kampungnya.
Sungguh,
tempat itu mengajarkan saya banyak hal, karena pada hakikatnya setiap tempat adalah guru bagi kita...
Semangat untuk teman-temanku: Shoim, Alam, Lambang, Pujo, Kautsaro,
Mursyid, Ditha, Mardiati, Yayuk, Dila, dan lainnya. Semoga bisa tetap
istiqomah, mengajar disana sampai kita lulus dari STIS. Aamiin
Potret kegiatan anak-anak di Kampung Ujung :
0 comments:
Post a Comment