Oleh : Ayub Abdul Rahman
Bulan
Ramadhan tahun ini sudah berjalan selama 19 hari dan sekarang tibalah saatnya
untuk pulang kampung atau orang-orang Indonesia biasa menyebutnya mudik, yeeeey.
Maklumlah sudah 11 bulan aku meninggalkan kampung halaman demi menempuh
pendidikan di STIS Jakarta. Rasa kerinduan akan suasana kampung halaman sudah
lama terbesit didalam hati. Kalau saja aku menunggu sebulan lagi untuk pulang
kampung, genaplah setahun aku di tanah orang :(.
Perjalanan
ini adalah perjalanan yang sudah kunanti-nanti sejak lama. Mengapa? Karena
waktu yang akan ditempuh dalam perjalanan kali ini sangat lama yaitu 3 hari 3
malam. Kalau misalnya ada orang bertanya, Kok perjalanan yang lama gitu malah
di nanti-nanti?.
Sejujurnya aku adalah orang yang sangat menyukai perjalanan. Tak
masalah seberapa jauhnya perjalanan itu, kuat atau tidaknya aku dalam menempuh
perjalalanan itu ataupun kondisi transportasi yang menemani perjalananku. Semua
itu dibawa senang saja dan yang penting
selamat sampai tujuan, karena di perjalanan kita dapat melihat banyak hal yang
jarang ataupun yang belum pernah kita lihat sebelumnya.
Hakikat perjalanan menurutku adalah suatu kondisi yang
tepat untuk merefresh kembali pikiran kita dengan melihat keluar dan menikmati
apa yang diciptakan Tuhan yang ada di bumi kita. Maka dari itu, daripada
membeli tiket pesawat yang harganya lebih mahal meskipun dalam sekedip mata
langsung sampai ketujuan, aku lebih memilih menggunakan Bus untuk pulang ke
kampung halaman kali ini yang akan memakan waktu 3 hari 3 malam karena jarak
yang ditempuh beribu-ribu kilometer. Anda lihat sendiri di peta, kira-kirakan saja
berapa kilometer jarak dari Jakarta ke Nusa Tenggara Barat paling timurnya, tak
jauh dari pulau Komodo, pulau yang kini menarik minat banyak wisatawan untuk berkunjung, baik dari luar
negeri maupun domestik. Wajarlah kini pulau komodo ramai dikunjungi karena ia
sudah dinobatkan menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia.
Perjalanan kali ini sudah kupersiapkan selama seminggu
terakhir, ada hal yang unik dalam setiap perjalanan ketika hendak ke kampungku.
Aku akan melewati 5 Provinsi, 4 Daratan, dan 3 Lautan sehingga jadilah
perjalanan kali ini aku sebut dengan “Ekspedisi 5 Provinsi, 4 Daratan, dan 3
Lautan!”
Perjalananku
dimulai pada tanggal 28 juli 2013 dengan memakai Bus Malam cepat yang
sebelumnya telah ku pesan 1 tiket kursi senilai Rp. 700.000 *mahal
kaan, gara2 BBM naik nih. Semua penumpang awalnya berkumpul
di terminal Pulo Gadung, Jakarta Timur dan sekitar pukul 1 siang bus pun mulai
berangkat dengan mantap. Beberapa menit berlalu, bus sudah berjalan membelah
kota Jakarta melewati jalan tol, lumayanlah untuk melihat-lihat sudut-sudut
Jakarta. Selama bus berjalan, mataku selalu terpaku melihat kejendela kaca tertutup
yang ada disamping kursi dudukku. Aku sengaja memesan kursi dekat jendela agar
setiap saat bisa melihat keluar.
Sudah
sejam lamanya dan kota Jakarta telah ditinggalkan oleh bus yang aku tumpangi
ini. Masih didalam tol, tidak ada pemandangan menarik yang kulihat, monoton dan
membosankan. Lebih baik aku baca buku saja, lalu kuambil sebuah novel islami
karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra, judulnya “99 Cahaya di langit Eropa”. Mungkin ada
yang sudah baca bukunya, bukunya sangat bagus. Buku itu ditulis berdasarkan
kisah nyata dari penulisnya sendiri tentang suatu perjalanan dalam menjelajahi
tempat-tempat di Eropa yang memiliki sejarah peradaban islam, bagaimana islam
dulu menyebar ke benua eropa dan sisa-sisa kejayaan islam yang masih tersisa
sampai saat ini. Ya, kita sekarang tahu bahwa orang-orang Eropa sekarang adalah
mayoritas beragama Kristen protestan, khatolik atau atheis, sehingga orang muslim disana menjadi minoritas yang
katanya jika ingin melakukan ibadah sangat sulit dan banyak halangannya. Saat
membaca buku itu, mataku semakin lama semakin lelah dan pandanganku samar-samar
hingga rentetan kalimat yang ada di buku itu sudah tak jelas dibaca lagi dan
akupun tertidur.
...
Piiipp…
piiipp… bunyi klakson bus membangunkanku dari tidur, kulihat hp dan waktu telah
menunjukan pukul 3. Sekejap lalu kulihat keluar jendela, terpampang tulisan
“cikampek” disebuah papan di pinggir jalan. Oh iya, aku belum menceritakan
tentang Ekspedisiku kali ini. Jadi selama 3 hari 3 malam itu, bus akan
membawaku dan penumpang lainnya melewati 5 provinsi diantaranya yaitu Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Kemudian kami
akan berjalan diatas 4 daratan yang disebut pulau yaitu pulau Jawa, pulau Bali,
pulau Lombok, dan pulau Sumbawa. Dan pulau-pulau tersebut dipisahkan oleh 3
lautan yang disebut dengan selat, yaitu selat Bali, selat Lombok, dan selat
Alas. Dan sekarang bus inipun tengah melaju di Provinsi Jawa Barat, masih dalam
pulau Jawa.
Hmmmp…
toko-toko disepanjang jalan itu begitu membuat lidahku menahan terus air liur
yang serasa ingin keluar. Manisan-manisan berwarna-warni yang dipajang di
toples ukuran besar itu seakan mengundang orang untuk mencicipinya, seakan
mereka berkata, ”saya enak loh…maka belilah saya”, tapi aku masih dibawah
kesadaran, bahwa aku sedang menjalankan ibadah puasa. Meskipun sudah
jelas-jelas diterangkan dalam islam bahwa orang yang sedang dalam perjalanan
atau menempuh jarak jauh diperbolehkan untuk tidak berpuasa, tetapi wajib
menggantinya di hari lain.
Namun, berpuasa di saat seperti ini banyak sekali
godaannya, para sopir dan kernet bus tidak ada yang berpuasa padahal aku tahu
bahwa mereka juga muslim. Begitu juga dengan sebagian besar penumpangnya, tidak
masalah bagiku jika mereka sedang makan, tapi di tempat tertutup seperti ini
ada saja yang merokok, yang sangat mengganggu kenyamanan penumpang lain.
Padahal sejatinya peraturan mengenai tidak boleh merokok di kendaraan umum
sudah ada, namun para sopir atau kernet satupun tak ada yang menegur dan
dibiarkan saja.
Hal ini juga mengingatkanku sewaktu naik angkot di
Jakarta, sopir angkot itu tengah merokok sambil memegang setir lalu seorang
bapak tua yang duduk disebelahnya berkata, “gak puasa?”, lalu sopir menjawab,
“iya, ntar gak kuat, maap ya pak asap rokoknya”, tentu orang-orang menyadari
bahwa menjadi sopir angkot butuh tenaga, tapi ini masalah iman kita juga.
Apakah iman kita ini tahan jika diuji dengan suatu ibadah kepada Allah swt yang
hanya dilakukan sebulan dalam setahun?, belum tentu tahun depan kita dapat
menikmatinya lagi. Ya begitulah, perjalanan kali ini bukan sekedar perjalanan
biasa.
…
Waktu menunjukan pukul 4 kurang 15 menit, roda bus
membelok dari jalanan kesebuah rumah makan. Kernet bus memberi instruksi kepada
penumpang untuk turun. Satu per satu penumpangpun turun, dibawah pintu bus
sudah berdiri kernet yang akan membagikan kupon makan. Aku membaca plang nama
rumah makan, daerah ini namanya Subang. Ternyata Subang yang ada di peta itu
begini toh, dan sekarang aku menginjakan kakiku di tanah Subang, ada rasa
senang melintas dalam pikiranku. Aku kemudian bergegas, berharap menemukan
sebuah masjid atau mushola untuk sholat. “Ah, itu dia..” sahutku, lalu segera
aku mengambil air wudhu’ dan menjamakkan sholat asharku dengan sholat dzuhur
yang belum sempat kutunaikan tadi karena takut ketinggalan bus.
Selesai sholat langsung menuju rumah makan, tapi
berhubung puasa makanannya ku bungkus saja untuk buka puasa nanti. Beberapa
saat kemudian, sopir bus membunyikan klakson tanda bus akan segera berangkat.
…
Suara adzan maghrib terdengar samar-samar dari dalam
bus, pertanda waktu berbuka telah tiba. “Allahuma
laka sumtu, wabika aamantu, wa’ala rizkika afthartu, birahmatika yaa
arhamarraahimiin”, begitulah do’a berbuka puasa yang senantiasa diucapkan
setiap muslim ketika hendak merasakan nikmatnya makanan setelah seharian
menahan lapar dan haus. Aku segera membuka bungkus nasi dari rumah makan tadi.
Dari luar jendela juga terlihat sekumpulan bapak-bapak yang tengah berkumpul di
pelataran masjid sambil menikmati hidangan yang telah disediakan. Memang enak
tinggal di Indonesia, kalau mau berbuka puasa yang gratis tinggal datang saja
ke masjid. Begitu banyak orang yang dermawan dengan memberikan sebagian
hartanya untuk memberi makan orang yang berpuasa. Tentulah yang demikian itu
merupakan sebuah amalan yang baik di bulan ramadhan.
Bus pun terus melaju, matahari kini berganti menjadi
bulan dan bintang sebagai pengawal-pengawalnya. Bulan saat itu mulai mengecil
dari keadaannya yang bulat sempurna beberapa hari yang lalu, tapi masih sanggup
memantulkan cahaya matahari. Disini bulan dapat dengan bebas memamerkan
cahayanya, tidak seperti di Jakarta, cahayanya kalah bersaing dengan polusi dan
gas-gas yang mengendap di udara.
Malam semakin larut, bus akhirnya melewati perbatasan
provinsi. Kali ini aku berada di
provinsi yang kedua, provinsi Jawa Tengah!.
Bersambung ke Bagian II .....
Bersambung ke Bagian II .....
0 comments:
Post a Comment